Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Hubungan Pandemi COVID-19 dan Lingkungan Hidup (Bagian II): ‘Kabar Buruk’ untuk Bumi
Medialingkungan.com – World Health Organization (WHO) sebagai badan otoritas kesehatan dunia telah menginstruksikan diberlakukannya protokol Social Distancing/pembatasan sosial, yang kemudian beberapa minggu setelahnya direvisi menjadi istilah Physical Distancing/pembatasan fisik kepada negara-negara di dunia yang terjangkit pandemi Covid-19. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir penyebaran wabah virus corona.
Dilema Peneliti Iklim di tengah Protokol Social/Physical Distancing
Instruksi protokol Social/Physical Distancing merupakan keharusan untuk dilakukan pada situasi saat ini. Namun, pada sisi lain, hal itu membuat peneliti yang fokus pada perubahan iklim mengalami dilema, karena beberapa tindakan penelitian dan kesepakatan internasional terkait iklim berpotensi tertunda akibat pembatasan tersebut.
Dilansir dari The New York Times (27/3/20), Meehan Crist, Peneliti Ilmu Biologi di Universitas Columbia, mengatakan, “Dengan adanya pandemi yang mengharuskan Social Distancing, berimbas pada penundaan berbagai kegiatan penting dalam isu perubahan iklim, seperti NASA yang sedang melakukan pekerjaan wajib, Penerbangan penelitian ke Kutub Utara telah dihentikan, dan kerja lapangan di mana-mana dibatalkan. Tidak ada yang tahu berapa banyak data iklim tidak akan pernah dikumpulkan sebagai hasilnya, atau kapan penelitian itu akan dilakukan lagi.”
Pernyataan itu diperkuat secara terpisah oleh Kenneth Bowman, ilmuwan iklim di Texas A&M University, dilansir dari The New York Times (3/4/20), Bowman mengatakan, “Proyek NASA selama lima tahun untuk mempelajari dampak badai petir parah yang memasuki stratosfer kini terperosok dalam ketidakpastian. Para peneliti dari beberapa universitas telah bermitra dengan NASA untuk menggunakan pesawat ER-2 untuk melakukan pengukuran musim panas ini, tetapi pekerjaan ini sekarang ditahan”
“Karena tertunda, kami belum memulai tes dan tidak jelas apakah kami akan dapat melakukan itu. Kami belum tahu waktunya, kami memikirkannya berminggu-minggu. Kami frustasi, tidak tahu kapan kami akan melakukan apa yang ingin kami lakukan.” lanjut Bowman.
Lebih jauh, Meehan Crits, dalam The New York Times (27/3/20), menyatakan, “Pertemuan para pemimpin dunia untuk mengatasi krisis iklim juga telah ditunda atau dibatalkan, dan KTT iklim COP26 di Glasgow yang direncanakan berlangsung pada bulan November 2020 bisa jadi ikut tertunda. Hal itu berarti bahwa pandemi kemungkinan besar akan memperlambat tindakan internasional yang notabenenya sudah lamban. Dalam Perjanjian Paris, negara-negara seharusnya mengumumkan janji baru untuk mengurangi emisi. Penundaan tindakan-tindakan seperti itu akan membuat semakin besar kemungkinan bahwa negara-negara akan melampaui sasaran-sasaran batas pemanasan sebelumnya. Ke depan, perhatian publik kemungkinan akan dialihkan dari isu perubahan iklim dengan menciptakan ketakutan terhadap kesehatan dan keuangan, dan aktivis lingkungan yang bergantung pada protes publik besar-besaran dipaksa beralih ke aksi berbasis online.”
Energi Terbarukan Pasca Pandemi
Masih pada artikel The New York Times (27/3/20), Crist mengatakan, “Resesi global sebagai akibat dari fenomena pandemi virus corona juga akan memperlambat atau menghentikan pergeseran penggunaan energi ke energi terbarukan. Jika pasar modal mandek, akan sulit bagi perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan dalam proyek-proyek tenaga surya, angin, dan jaringan listrik. Hal itu akan menghambat proposal proyek-proyek baru terkait energi terbarukan yang disebabkan oleh terganggunya rantai pasokan global— dimana sebagian besar panel surya dunia, turbin angin, dan baterai lithium-ion diproduksi di Cina.”
“Analisis dari BloombergNEF (lembaga yang berkonsentrasi pada energi global) telah menurunkan ekspektasi untuk pasar tenaga surya, baterai, dan kendaraan listrik pada tahun 2020 ini. Hal itu menandakan perlambatan dalam transisi menuju energi terbarukan.” Lanjut Crist.
Crist menambahkan, “Energi yang lebih murah (pasca pandemi) akan menyebabkan konsumen menggunakannya dengan kurang efisien. Dengan begitu, harga yang rendah itu dapat berimbas pada penurunan penjualan kendaraan listrik dan membuat orang kurang tertarik pada proyek-proyek seperti pembangunan rumah dan kantor hemat energi.”
Kehilangan Momentum Aksi Iklim
Sebuah peringatan juga hadir dari Clement Fournier, Peneliti Science Po Bordeaux yang fokus pada isu sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dilansir dari Youmatter (25/3/20), Fournier memaparkan beberapa analisis diantaranya, “Sebelum krisis virus corona, gerakan iklim jelas membangun momentum dan mendapatkan daya tarik. Gerakan pembangkangan sipil seperti Friday for Future atau Extinction Rebellion menjadi berita utama. Dan di dalam komunitas ilmiah, para ahli memiliki lebih banyak landasan untuk berbagi temuan dan keprihatinan mereka”.
“Tapi sejak hadirnya pandemi, semua momentum ini tiba-tiba menghilang. Kita hampir lupa tentang kebakaran hutan luar biasa yang terjadi di Australia, di hutan Amazon atau di California. Olenya itu, kita tidak boleh percaya bahwa ketika pandemi ini berakhir dan pemerintah memulihkan situasi ekonomi, semuanya akan kembali seperti semula dan ekologi akan mendapatkan momentum lagi. Justru sebaliknya, mungkin.” Kata Fournier.
Nasib Iklim-Ekologi Pasca Pandemi
Protokol Social/Physical Distancing telah meminimalisir aktivitas manusia serta intensitas produksi industri global. Hal itu berefek baik pada situasi iklim dunia dengan menurunnya persentase emisi gas rumah kaca. Namun, hal tersebut diperingatkan hanya akan bersifat sementara.
Adalah benar dalam jangka pendek, pandemi menimbulkan efek positif terhadap iklim (penurunan emisi). Tapi pada jangka panjang, pasca pandemi, emisi akan bertambah lagi.
Crist mengatakan, “Cina telah mengindikasikan bahwa mereka akan melonggarkan pengawasan lingkungan dari perusahaan-perusahaan untuk merangsang ekonominya sebagai respon dari pandemi virus corona. Hal itu berarti bahwa pengurangan 25% yang menakjubkan dalam emisi karbon dapat menguap kembali.” Sebagaimana dilansir dari The New York Times (27/3/20).
Senada dengan Crist, dilansir dari Youmatter (25/3/20), Clement Fournier menyatakan, “Pada situasi menghadapi krisis ekonomi, trennya hampir selalu sama: semua upaya terkonsentrasi pada “pemulihan”. Negara menyuntikkan banyak dana ke dalam sistem perbankan untuk mendorong konsumsi, biaya di sektor “tidak penting” dipotong untuk meningkatkan produktivitas, anggaran publik diarahkan ke kebijakan stimulus ekonomi.”
“Singkatnya, kebijakan finansial akan diberlakukan untuk membendung krisis. Dan bagaimana dengan ekologi? Itu dibiarkan ke tingkat kedua. Ekologi akan menunggu, dan mungkin bertanggung jawab atas krisis ekonomi berikutnya.” Lanjut Fournier (Fatwa Faturachmat)