Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Melalui film, Greenpeace Beri Proyeksi Pekerjaan Pemerintah yang Tersisa

Film dokumenter Greenpeace terkait permasalahan lingkungan hidup (gambar : greenpeace)
Medialingkungan.com – Non Government Organization (NGO) yang bergerak dibidang lingkungan hidup dan memiliki basis di Indonesia, Greenpeace — memproyeksikan pekerjaan rumah 100 hari terakhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di bidang lingkungan melalui empat film pendek bertajuk “Silent Heroes” di Kine Forum.
Juru kampanye Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution di Jakarta, pada Minggu, mengatakan pemerintahan Presiden SBY masih menyisakan persoalan lingkungan khususnya perlindungan hutan, keadilan dan ketahanan energi, pencemaran air sungai, penangkapan ikan berlebih (over fishing) yang illegal, serta aturan-aturan yang masih ambigu dan tanpa ketegasan hokum yang disertai keberpihakan pada oknum tertentu.
Greenpeace menganggap, apabila tak segera diselesaikan,maka akan menjadi tambahan beban yang harus diselesaikan oleh pemerintahan setelahnya.
Dalam film pendek tersebut, ia mempertontonkan ketidaktegasan pemerintah dalam perlindungan lingkungan yang berujung pada terancamnya sumber-sumber kesejahteraan pada perjuangan masyarakat di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, dan di desa Pandumaan–Sipituhuta, Sumatera Utara.
Sekilas film tersebut mengisahkan masyarakat yang berusaha mempertahankan sumber kehidupan mereka dengan terengah-engah tanpa dukungan dari pihak pemerintah. Pemegang kedaulatan tak sanggup menyentuh dan menyokong kehidupan masyarakat pinggiran yang menggantungkan pencahariannya di hutan dan laut.
Selain itu, ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan akses energi listrik sebagai sumber kesejahteraan bagi masyarakat. Greenpeace mencatat saat ini terdapat 60 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses listrik, terutama masyarakat adat, wilayah terpencil, dan pulau-pulau kecil.
Masalah lainnya adalah tentang seetifikasi kayu (SVLK) yang membebani masyarakat, baik seacara kapasitas, akses maupun financial.
Arifsyah menegaskan solusi atas ketidakadilan energi saat ini adalah pengembangan sistem energi terdesentralisasi yang sesuai dengan potensi sumber daya masing-masing daerah, dan mempertimbangkan kearifan lokal, sebagaimana dikembangkan di Sui Utik melalui program Energi Terbarukan Nusantara (Enter Nusantara) yang diinisiasi Greenpeace bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Persoalan lain yang digambarkan film ini, lanjutnya, adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap sumber daya air sebagai kebutuhan pokok manusia.
“Pemerintah belum melihat air sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum telah membuat mayoritas sungai di Indonesia tercemar limbah domestik dan B3 industri sebagaimana digambarkan dalam cerita tentang Ciliwung,” ujar dia.
Oleh karena itu, menurut Arifsyah, sudah saatnya pemerintah mengubah dan melaksanakan kebijakan yang lebih menyeluruh di lapangan agar tekanan terhadap masyarakat tidak berlarut-larut. Pemerintah SBY harus segera mengambil langkah nyata untuk mencari jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada dalam 100 hari terakhir masa kerjanya.
Jika dia ingin mencetak sejarah baru dalam perjalanan terakhirnya SBY bukan meninggalkan beban dan cacian melainkan tangis masyarakat yang tak ingin ia berhenti berkiprah dan mengabdi. (MFA)