Bioenergi Dari Bahan Non Pangan (Jembatan Antara Ketahanan Energi, Pangan dan Hutan Lestari Indonesia)

 Bioenergi Dari Bahan Non Pangan  (Jembatan Antara Ketahanan Energi, Pangan dan Hutan Lestari Indonesia)

Muhammad Daud Hammasa


Oleh Muhammad Daud, S. Hut., M.Si

Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Makassar/ Direktur dan Peneliti Bioenergi Tropical Rain Forest Consultant

Email: mdaudhammasa@gmail.com

 

Gerak adalah Sumber Kehidupan dan Gerak yang Dibutuhkan di Dunia ini Bergantung pada Energi, Siapa yang Menguasai Energi Dialah Pemenang” (Ir. Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia)

Kebutuhan energi dunia akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan bahan energi terutama bahan bakar fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadangan minyak dunia sehingga bahan bakar fosil ini menjadi semakin langka dan harganya pun meningkat secara signifikan. Di sisi lain, perkembangan industri berbahan bakar fosil telah menyebabkan dampak lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim.

Dampak naiknya harga minyak bumi dunia sangat dirasakan oleh pemerintah Indonesia dan menyebabkan krisis yang berkepanjangan pada beberapa negara lain di dunia. Selama tahun 2000-2011, konsumsi energi final meningkat rata-rata 3% per tahun. Konsumsi energi final terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk, industri, dan tansportasi serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pertumbuhan rata-rata kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat sebesar 4,7% per tahun selama tahun 2011-2030.

Pertambahan penduduk akan menyebabkan peningkatan penggunaan energi untuk menunjang kebutuhan hidup yang meliputi sektor industri, transportasi, rumah tangga, dan lain sebagainya. Semakin banyak penduduk yang berada di sebuah negara, semakin banyak pula energi yang dibutuhkan dan digunakan oleh negara tersebut.

Argumentasi tersebut menemui titik temu seiring dilaksanakannya program peningkatan nilai tambah mineral sesuai dengan amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini ditindaklanjuti pelaksanaannya melalui regulasi dalam PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara dan Inpres No. 3 Tahun 2013 tentang percepatan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Kebijakan ini diharapkan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan, sehingga perannya dalam perekonomian nasional meningkat. Pengembangan industri pengolahan mineral untuk peningkatan nilai tambah akan menciptakan kebutuhan energi sekaligus memerlukan pasokan energi yang cukup agar dapat beroperasi dengan baik. Dengan adanya tambahan kebutuhan energi maka akan berdampak pada sektor energi secara keseluruhan.

Di sisi lain, pemanfaatan bahan bakar minyak  (BBM) sebagai energi di Indonesia sudah melewati batas wajar. Tiap tahun negara ini harus mengimpor BBM karena kebutuhan masyarakatnya yang tinggi, sehingga memberi pengaruh yang kurang baik terhadap neraca perdagangan konsumsi energi yang tinggi ini menimbulkan masalah dan ketimpangan, yaitu terjadinya pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan gas bumi serta batu bara yang lebih cepat, jika dibandingkan dengan penemuan cadangan baru.

Peningkatan subsidi BBM yang setiaptahun dialami juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Salah satu upaya yang kini mulai gencar dilakukan untuk mengurangi subsidi BBM, yakni melakukan substitusi BBM dengan menggunakan bahan bakar alternatif.

Beberapa program yang sudah berjalan diantaranya adalah substitusi minyak tanah dengan LPG (Liquefied petroleum gas) untuk kebutuhan rumah tangga, penggunaan CNG (Compressed natural gas) untuk kendaraan bermotor serta mandatori penggunaan bahan bakar nabati (BBN) untuk sektor industri, transportasi dan pembangkit listrik.

Selain pergulatan diatas, sebuah hal koherentif yang menjadi topik hangat bangsa Indonesia adalah permasalahan kepemilikan hak pengelolaan sumber daya energi terutama minyak bumi dan gas (MIGAS). Sebagian besar masyarakat tentu mengetahui bahwa gas metana dan batubara Indonesia hampir keseluruhannya dikuasai oleh pihak asing.

Berbagai permasalahan energi saat ini dan yang mungkin muncul dimasa depan memerlukan solusi yang tepat dengan pendekatan yang komprehensif. Perencanaan dan pengembangan energi perlu dilakukan supaya dapat menjamin ketersediaaan energi untuk jangka panjang. Diversifikasi energi yaitu penganekaragaman pemakaian energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan seperti tenaga surya, biomassa, angin, energi air, dan panas bumi.

Potensi energi baru terbarukan di Indonesia bisa mencukupi kebutuhan energi Indonesia hingga 100 tahun mendatang, karena memiliki potensi setara dengan 160 gigawatt (GW).Sementara itu, pemerintah juga terus menggalakkan konservasi energi, yaitu penggunaan energi yang efisien. Upaya itu meliputi pemanfaatan energi yang efisien dan menerapkan manajemen energi di semua sektor, yaitu industri, transportasi, rumah tangga, dan komersial.

Penggunaan energi yang tidak terkendali ini membuat pemerintah turut campur tangan. Sudah banyak kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang energi. Dewan Energi Nasional (DEN) dan Komisi VII DPR RI telah menyepakati Rancangan Kebijakan Energi Nasional atau R-KEN untuk diproses lebih lanjut menjadi Kebijakan Energi Nasional (KEN).

KEN ini bertujuan untuk pengelolaan dan sasaran penyediaan energi nasional sampai tahun 2050 mendatang yang mengacu pada energi baru terbarukan (EBT), bauran energi, pengelolaan batubara, gas bumi, harga subsidi energi, dan juga ketentuan pengurangan subsidi energi.

Kebijakan dalam perencanaan energi perlu terus dilanjutkan guna merealisasikan penerapan teknologi energi bersih yang andal, berkelanjutan, dan terjangkau dalam rangka mendukung penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sesuai amanat UU No. 30 tahun 2007 tentang energi.

Disamping itu, perlu mendukung kebijakan pemerintah dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang terus berupaya melaksanakan pembangunan bersih yang berwawasan lingkungan.  

Persoalan energi dan perubahan iklim telah menjadi isu Internasioan. Pertemuan-pertemuan internasional terkait perubahan iklim, diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak perundingan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) atau lebih dikenal dengan KTT Bumi di Brazil tahun 1992, Protokol Kyoto pada tahun 1997, Bali Road Map pada tahun 2007 yang mendorong Indonesia untuk membuat kontribusi signifikan untuk mengurangi emisi GRK dan memungkinkan kesepakatan global terkait perubahan iklim terwujud.

Salah satunya adalah lewat target Indonesia untuk mengurangi emisi sampai 26% sebelum tahun 2020 dengan sumber daya sendiri, dan bahkan bisa sampai 41% dengan bantuan internasional.  Sejak COP-13 di Bali, upaya mengatasi perubahan iklim juga memasukkan inisiatif ‘the Reducing Emission from Deforestation and Degradation’ (REDD), yang kemudian berkembang menjadi REDD+.

Beberapa kebijakan nasional yang telah diupayakan untuk mengurasi dampak perubahan iklim tersebut antara lain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang di dalamnya mengatur tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang di dalamnya mengatur tentang reklamasi dan pasca tambang dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya mendorong pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global serta pentingnya pengintegrasian pembangunan berkelanjutan (pembangunan berwawasan lingkungan) dalam upaya pembangunan nasional.

Berdasarkan sensus tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa (sensus BPS Tahun 2010) atau meningkat rata-rata 1,48% per tahun sejak tahun 2000. Pada saat ini sekitar 54% penduduk tinggal di wilayah perkotaan. Angka PDB tahun 2010 mencapai 2.310 triliun rupiah (angka konstan 2000), dengan laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata selama 10 tahun terakhir mencapai 3,68%.

Dari data Outlook Energi Indonesia (2013), konsumsi energi Indonesia meningkat secara historikal dengan  pertumbuhan rata-rata 3,09% per tahun dari tahun 2000 sampai dengan 2010 dimana jumlah-nya meningkat dari 737 juta setara barel minyak (SBM) (2000) menjadi 1012 juta SBM (2010).

Sejalan dengan konsumsi energi yang meningkat, maka penyediaan energi primer maupun final mengikuti kenaikan tersebut. Total konsumsi energi final pada tahun 2010 mencapai 1.012 juta SBM dengan laju pertumbuhan antara tahun 2000-2010 sebesar 3,09% per tahun yang didominasi oleh peng¬gunaan BBM di tahun 2010 mencapai 31%, sedangkan konsumsi biomasa berupa kayu bakar dan arang mencapai 28% dan pemanfaatan gas dan batubara sekitar 13%.

Beberapa per-masalahan utama antara lain adalah produksi migas yang terus menurun namum kebutuhan terus bertambah. Renegosiasi kontrak migas dan pembatasan ekspor batubara mendapat¬kan kesulitan tersendiri. Sedangkan pemanfatan EBT masih relatif kecil karena kurang minatnya investor, masih tingginya biaya investasi, selain masalah birokrasi yang masih panjang.

Demikian pula pengembangan energi nuklir sebagai bagian dari EBT masih banyak kendala, baik dalam perencanaan maupun implemen¬tasinya, berkenaan dengan aspek-aspek sosial yang muncul.

Salah satu cara mengurangi krisis energi dan dampak yang diakibatkan oleh penggunaan energi berbahan baku fosil adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati (BBN).

Selain dapat diperbaharui, BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas-gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global. BBN merupakan salah satu sumber energi yang mudah diperoleh di Indonesia.

Banyak jenis sumber energi alternatif yang dapat diolah menjadi BBN seperti jarak pagar, kelapa sawit (biodiesel), tebu, ubi kayu dan aren (bioetanol). Saat ini, produksi bioetanol lebih banyak dikembangkan dari pada bahan bergula dan berpati dan seperti gula tebu, ubi kayu dan jagung (bioenergi generasi pertama). Padahal bahan-bahan tersebut merupakan sumber pangan sehingga ke depan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat persaingan antara pemanfaatan bahan bahan baku untuk bioenergi dengan pemenuhan kebutuhan pangan.

Sehingga perlu pengembangan bioetanol dari bahan yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat (non edible) yang merupakan energi generasi kedua terutama bahan ber-lignoselulosa seperti limbah-limbah kayu di hutan, limbah perkebunan, limbah pertanian, dan limbah industri rumah tangga, limbah-limbah penggergajian serta pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia serta pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia.

Harga bahan baku berlignoselulosa pada dasarnya secara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih menemui kendala seperti rendemen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat (inhibitors) yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol.

Untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan (pretreatment), hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi. Salah satu metode yang dapat meningkatkan produktivitas bioetanol adalah dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan atau simultaneous saccharification and fermentation (SSF).

Pemanfaatan bahan non pangan (bahan berlignoselulosa) seperti limbah kayu sebagai penghasil  bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu memerlukan proses pendahuluan akibat keberadaan lignin, zat ekstraktif, kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat sebagai hasil samping selama proses hidrolisis dan fermentasi.

Meskipun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak produktif, namun biaya produksinya masih relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati. Oleh karena itu, tantangan teknologi dalam biokonversi bahan berlignoselulosa tersebut menjadi bioetanol saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol.

Hasil penelitian penulis  menunjukkan bahwa pemanfaatan biomassa jenis-jenis kayu tropis terutama sengon dan gmelina dapat menghasilkan bioetanol masing-masing sekitar 163.20 L/ton dan 238.49  L/ton dengan produktivitas sekitar 2991.97 dan 3407.59 L/ha per tahun sehingga sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi krisis energi.

Produksi etanol yang dihasilkan dengan menggunakan kayu gmelina (238.49 L/ton) melebihi produksi tanaman pangan ubi kayu (180 L/ton) ubi jalar (142 L/ton), sweet sorgum (76.7 L/ton)  dan talas (142  L/ton). Secara umum kayu gmelina (3045.08 L/ha per tahun) mampu melebihi produktivitas sweet sorgum dan talas dengan produktivitas masing-masing berturut-turut sekitar 920.4 dan 2840 L/ha per tahun.

Berdasarkan data statistik kehutanan 2012, produksi kayu Indonesia pada beberapa tahun terakhir (2008-2012) mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 produksi kayu bulat Indonesia sekitar 32,000,786 m3 dan meningkat menjadi 49,258,228 m3 pada tahun 2012.

Jika diasumsikan bahwa sekitar  45,66% dari produksi kayu tersebut menjadi limbah seperti hasil-hasil penelitian saat ini dan rendemen ethanol dari limbah kayu berkisar 10.02% (v/v) (hasil penelitian penulis) maka jumlah bioethanol yang berpotensi diperoleh tergolong tinggi.

Jika merujuk pada data Ditjen MIGAS (2013) maka pada tahun 2010 jumlah komsumsi BBM Indonesia adalah 388,241,000 SBM (setara barel minyak) atau setara 61,730,319,000 liter minyak. Itu artinya limbah kayu ini dimanfaat untuk mensubstitusi komsumsi BBM maka dapat menurunkan komsumsi BBM sebesar 3,65% per tahun.

Data dari Ditjen MIGAS Kementerian ESDM (2013) jumlah komsumsi BBM Indonesia adalah 388,241,000 SBM (setara barel minyak) atau setara 61,730,319,000 liter minyak sedangkan cadangan minyak bumi Indonesia saat ini adalah 7,400,000,000 SBM.Jika diasumsikan tidak ada temuan ladang minyak bumi baru maka sekitar 19 tahun lagi negara Indonesia akan menjadi Negara murni pengimpor minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan energi Indonesia rapuh.

Perlu pengembangan bioenergi alternatif terutama bahan non pangan untuk mengurangi persaingan dengan kebutuhan pangan ke depan. Salah satunya dengan mengembangkan terobosan baru yaitu pengembangan hutan tanaman industri untuk bionergi. Jika kebijakan itu dilaksanakan maka luas hutan tanaman untuk produksi bionergi untuk memenuhi komsumsi BBM adalah yang dapat dibangun adalah sekitar 18,115,536 ha.

Dengan luas hutan produksi tetap Indonesia saat ini (Kementerian Kehutanan 2013) adalah 30,180,157 ha dan  hutan produksi yang dapat dikonversi adalah 17,814,745 dan dari sekitar 98.56 juta ha total hutan Indonesia sekitar 5.449.299,30 ha tergolong sangat kritis dan 23.955.162.70 ha tergolong kritis jika itu dapat direhabilitasi serta hutan lindung (30,096,778 ha) dan hutan konservasi (22,253,747 ha) dapat dipertahankan kelestariannya maka akan menjadi bank energi Indonesia.

Kebijakan pengembangan bioenergi untuk menghasilkan bensin dari hutan produksi dapat dilaksanakan dan hutan lindung dan konservasi tetap menjadi tempat konservasi energy dan bank energy Indonesia menuju ketahanan energy dan pangan Indonesia dengan tetap menjaga kelestarian hutan Indonesia. Meskipun demikian butuh keberaniaan untuk melaksanakan itu mengingat banyaknya kepentingan dalam kebijakan ekspor impor minyak Indonesia.


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *