ARuPA Deklarasikan Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan Kasus Kehutanan

ARuPA bersama masyarakat deklarasikan Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan Kasus Kehutanan di sekretariat Serikat Tani Tani Randurejo {Gambar: Erwin Santoso/ARuPA}}
Medialingkungan.com – Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) Yogyakarta memfasilitasi peluncuran Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan Kasus Kehutanan di sekretariat Serikat Tani Tani Randurejo, Dusun Bendo, Desa Randurejo, Kecamatan Pulokulon, Grabongan, Purwodadi, Jawa Timur, pada Rabu (24/02).
Pembentukan tersebut merupakan upaya ARuPA dalam rangka menegakkan keadilan dalam kasus kehutanan, utamanya untuk masyarakat sekitar hutan. Kegiatan itu melibatakan para petani dari Lidah Tani Blora, Serikat Tani Randurejo, akademisi, praktisi hukum, pewarta berita serta sejumlah mahasiswa dengan tujuan untuk membantu masyarakat dalam memperoleh akses informasi, penegakan hukum, dan pemantauan peradilan terkait kasus kehutanan.
Pembentukan Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan Kasus Kehutanan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kejanggalan dalam kasus hukum kehutanan yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.
Kasus kehutanan di Blora, misalnya. Berdasarkan data yang diterima Medialingkungan.com melalui siaran pers dari ARuPA menunjukkan bahwa sejak 2012 hingga Agustus 2015 menunjukkan ada sebanyak 245 kasus, dengan rincian: 2012 terdapat 54 kasus; 2013 terdapat 70 kasus; 2014 terdapat 77 kasus; dan 2015 terdapat 44 kasus.
Di samping itu, ARuPA bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang juga mencatat, dari 1998 – 2013, Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa, telah ‘mencederai’ sekitar 108 warga hutan dan sebagaian besar diselesaikan tanpa proses hukum yang benar.
Direktur Lembaga AruPA, Agus Budi Purwanto yang turut hadir dalam peluncuran tersebut mengungkapkan, konsep jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan ini adalah pemantauan partisipatif berbasis masyarakat.
“Jadi konsepnya adalah pemantauan berbasis masyarakat. Kalau yang memantau orang luar atau jauh, itu tidak akan efektif. Tetapi kalau yang memantau itu masyarakat di sekitar hutan yang dekat dengan kasusnya, akan jauh lebih efektif. Maka Jaringan Paralegal dan Pemantauan Peradilan Kasus Kehutanan ini berisi masyarakat atau organisasi desa hutan,” ungkapnya.
Melalui Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan tersebut, Agus berharap agar proses peradilan dalam kasus kehutanan bisa menjadi lebih adil dan transparan bagi masyarakat, utamanya menghentikan tindakan ‘suap-menyuap’ dalam kasus kehutanan dan kekerasan terhadap masyarakat.
Sementara itu, salah satu koordinator Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan kasus Kehutanan, Widoyo menerangkan bahwa langkah awal yang akan dikerjakan Jaringan Paralegal dan Pemantau Peradilan kasus Kehutanan adalah penguatan paralegal, utamanya dari sisi legalitasnya.
“Kalau dari pertemuan yang kemarin sampai hari ini, semestinya yang akan dilakukan pertama kali adalah penguatan paralegal, termasuk dari sisi legalitasnya yang berbentuk surat kuasa. Hal ini tentunya akan mempermudah akses kita saat melakukan pendampingan pada kawan-kawan yang terkena kasus pidana,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia jelaskan bahwa penguatan paralegal dalam pendampingan dari level kepolisian hingga proses selama ini belum pernah dilakukan. Hal ini mengakibatkan banyak hak-hak korban yang tidak dipenuhi.
“Selain itu, untuk paling dekat saat ini, kami dari masing-masing organisasi Tani akan menguatkan pemahaman akan hukum. Di dalam organisasi Tani sendiri kan ada tiap-tiap divisi. Nanti akan ada penguatan dari para pimpinannya dulu, baru nanti akan disampaikan pada anggota,”ujarnya
Widoyo berharap agar kader-kader paralegal dan pemantau peradilan bisa semakin banyak. “Sebab dengan makin banyak kita yang tahu soal hukum, nanti semakin banyak orang akan tahu. ‘Tahu’ di sini, berarti mereka tidak akan menjadi korban ketidakadilan lagi seperti yang selama ini banyak dirasakan pihak masyarakat,” tambahnya. {Fahrum Ahmad}