Indonesia Tanggap REDD+, AMAN: Masyarakat Adat Harus Dilibatkan

 Indonesia Tanggap REDD+, AMAN: Masyarakat Adat Harus Dilibatkan

Parade Ritual Budaya dan ritual air nusantara di Bengkulu {Gambar: Gallery AMAN}


Medialingkungan.com – Konferensi Iklim Paris telah menghasilkan Kesepakatan Paris yang memuat skema REDD+ yang disetuji oleh 148 negara partisipan pada kenferensi terbesar PBB mengenai isu peruabahan iklim pada Desember 2015 silam. Setelah REDD+ disepakati pada Konferensi Iklim Paris, Indonesia melangkah cepat inisiatif ini diterapkan sepenuhnya di lapangan.

“Kita tidak lagi berbicara soal tantangan atau peluang (REDD+). Tetapi, kini kita berbicara bagaimana menjawab tantangan,” ujar Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Festival Iklim di Jakarta awal Februari 2016.

Sejak tahun 2000 Indonesia telah mendorong agenda REDD+ (saat itu masih bernama RED), hingga sekarang berkembang dengan penambahan ‘D’ untuk degradasi lahan dan ‘+’.

Tercatat hingga saat ini, terdapat 17 keputusan COP yang dapat diterjemahkan menjadi kebijakan nasional di negara-negara yang mengadopsi skema REDD+.

Dalam situs resmi Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) mencatat bahwa di tingkat nasional, pengembangan REDD+ dalam hal institusionalisasi, pembuatan kebijakan, dan aktivitas di lapangan sangatlah dinamis.

Sebelum dilebur dan menjadi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK), Pemeirntah Indonesia telah membentuk lembaga REDD+ yang juga menjadi bagian kesepakatan bilateral dengan Norwegia.

Kendati dengan usia yang cukup singkat (kurang dari setahun), Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) berhasil memfasilitasi enam provinsi percontohan yang rentan kebakaran hutan dan lahan, termasuk membentuk Strategi Nasional REDD+ dan penegakkan hukum.

“Proyek REDD+ sangat beragam, dari skala, lingkup aktivitas, metodologi, asumsi karbon, dan banyak yang perlu dicatat lagi. Kami perlu mengidentifikasi beberapa fokus pada Tahap 2 (kesepakatan dengan Norwegia) pada 2013 dan kami perlu mengkaji lagi mana yang berjalan dan mana yang tidak,” jelas Masripatin.

Lebih lanjut ia sampaikan, penundaan pengembangan REDD+ terjadi karena perubahan politik, khususnya penggabungan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

“Dengan integrasi ini, kami hanya baru mulai proses operasional pada 1 Juni 2015. Kami (Indonesia dan Norwegia) sepakat tahap transisi hingga pertengahan tahun,” sambungnya seraya menambahkan target tenggat waktu 2018 untuk implementasi penuh REDD+.

Selain itu, sambung Nur Masripatin, program REDD+ akan juga mencakup mata pencaharian dan peningkatan kapasitas.

“Kini digabung program pembendungan kanal, pembasahan kembali lahan gambut dengan penghidupan dan peningkatan kapasitas dengan harapan hal ini dapat langgeng,” katanya.

Sementara itu, Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR menyatakan, tantangan masa depan REDD+ adalah seputar tenurial (berupa: tenurial lahan), tenurial pohon, dan tenurial karbon yang perlu diatasi.

“Jika seseorang mengelola lahan, menanam pohon dan memelihara lahan gambut yang bukan miliknya tetapi memberi jasa lingkungan, bagaimana kita dapat mengakui peran dan memberikan penghargaan (atas tindakan) tersebut. Belum ada mekanisme dan terjadi kebingungan di tingkat nasional,” jelas Murdiyarso.

Lebih jauh ia sampaikan, setiap lokasi memiliki tantangan berbeda, seperti pembendungan kanal, desa hijau, dan desa bebas kebakaran. “Bagian menarik dari aktivitas ini adalah (mereka) berbasis proyek yang seringkali melupakan tunjuan lebih besar aktivitas yang bukan hanya karbon. Bisa beragam dan (karbon) mungkin menjadi prioritas akhir,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan juga mengingatkan tentang “Tidak Ada Hak Tidak Ada REDD” dari masyarakat adat sebagai syarat skema ini dapat diterima.

“(Mengakui) hak masyarakat adat adalah dasar mendukung REDD karena merekalah tulang punggung implementasi REDD+,” kata Abdon Nababan.

Ia menambahkan, masyarakat adat memiliki peran yang sangat penting dalam perlindungan hutan. “Berbicara mengenai masalah lingkungan, pembangunan berkelanjutan maka masyarakat adat adalah solusinya karena mereka ingin melindungi lingkungan.”

Menurut Abdon Nababan, masyarakat adat memiliki pengetahuan untuk melindungi dan menjaga wilayah mereka dengan hukum adat, lembaga adat, dan sistem tenurial yang berbeda dengan sistem ‘Barat’. Meskipun: sistem ini dirusak oleh sistem sertifikasi lahan. “Masyarakat adat menerapkan kepemilikan komunal, mereka tidak mengerti hal milik properti. Anda hanya punya hak atas lahan ketika mati. Ini mengapa disebut ‘tanah leluhur’,” jelasnya.

Selama lima tahun terakhir, AMAN juga melakukan kesiapan REDD+ mandiri dengan memetakan lahan adat di negara ini dan juga berkontribusi menyerap emisi gas rumah kaca. “Dari 84 juta hektare (lahan adat), jika masyarakat adat diperkuat, maka 32,7 Gigatons CO2 dicegah untuk teremisi. Artinya, kontribusi masyarakat adat mencegah pemanasan global sangat potensial,” jelasnya.

AMAN telah melakukan peningkatan kapasitas masyarakat adat dalam mendapatkan sumber ekonomi alternatif, merehabilitasi area mereka, dan mengubah hutan adat sebagai pembibitan untuk menyediakan bibit murah. {Fahrum Ahmad}

 


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *