Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Merek-Merek dan Bank-Bank Besar Dunia Disoroti Karena Memicu Deforestasi dan Pelanggaran Hak Masyarakat
Medialingkungan.com – Sebuah laporan baru yang dirilis Rainforest Action Network (RAN), menyorot sepuluh perusahaan multinasional dan tujuh bank besar, mewakili beberapa perusahaan paling berpengaruh yang terus memicu kerusakan hutan dan pelanggaran hak Masyarakat Adat dan lokal. Melalui laporan berjudul Mempertahankan Tegakan Hutan: Mengungkap Merek dan Bank Pemicu Deforestasi ini diuraikan bagaimana praktik bisnis merek-merek dan bank-bank besar di dunia terus menghancurkan hutan hujan tropis yang kritis, dan dalam beberapa kasus, gagal menegakkan komitmen mereka sendiri untuk mengakhiri deforestasi serta menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan lokal pada tahun 2020.
“Kita hidup dalam situasi yang tidak terduga dalam banyak hal. Krisis deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim terus berlangsung dan mereka sebagian besar didorong oleh perusahaan dan bank-bank ini,” ujar Robin Averbeck, Direktur Kampanye RAN dalam siaran pers, yang diterima Medialingkungan.com, Rabu (22/4/20).
“Sepuluh tahun lalu, banyak perusahaan-perusahaan ini membuat komitmen untuk mengakhiri deforestasi dan pelanggaran Hak Masyarakat Adat dari praktik bisnis mereka, seluruh perusahaan ini gagal untuk mencapai komitmen ini. Waktunya sudah lewat bagi perusahaan-perusahaan ini untuk membuktikan komitmen ini dan sekarang kami meminta pertanggung jawaban mereka,” tambahnya.
Perusahaan yang diungkap dalam laporan tersebut meliputi Colgate-Palmolive, Ferrero, Kao, Mars, Mondelez, Nestlé, Nissin Foods, PepsiCo, Procter & Gamble, dan Unilever.
Dapat dilihat pada laporan tersebut bahwa dalam satu tahun, perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh pendapatan lebih dari USD 390 Miliar. Bersama-sama mereka memasok lebih dari 3.500.000 metrik ton minyak kelapa sawit pada tahun 2018 (satu-satunya komoditas yang sepenuhnya dilaporkan).
Selama puluhan tahun, sejak dibuatnya komitmen masing-masing dan kolektif perusahaan untuk mengakhiri deforestasi komoditas minyak kelapa sawit; pulp dan kertas; kedelai; dan ternak sapi, merek-merek ini gagal menegakkan moratorium deforestasi; menetapkan sistem monitoring dan respon terhadap deforestasi dan lahan gambut yang transparan dan kuat; memverifikasi bahwa pemasok memiliki bukti hak legal atas tanah yang mereka kelola dan telah menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan lokal yang menolak pembalakan dan ekspansi komoditas pertanian di tanah mereka; atau mencapai ketertelusuran hingga perkebunan atau kebun yang memproduksi komoditas yang dipasok.
Sedangkan bank dan sektor keuangan yang disorot mendanai deforestasi adalah Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Bank Negara Indonesia (BNI), CIMB, Commercial Bank of China (ICBC), DBS, ABN Amro, dan JPMorgan Chase.
Tujuh bank paling berpengaruh yang disorot dalam laporan ini secara keseluruhan telah gagal mengakui dampak luar biasa dari praktik pembiayaan mereka terhadap perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat. Bank-bank ini juga gagal mengungkapkan risiko material dari pinjaman tersebut kepada pemegang saham dan lembaga regulator keuangan.
Bank ikut mendanai, mendorong sisi permintaan dan penawaran untuk deforestasi hingga mencapai ratusan miliar dolar per tahun. Sebagian besar pembiayaan dunia untuk komoditas yang berisiko merusak hutan berasal dari bank-bank yang berpusat di Cina, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Singapura, dengan bank-bank Eropa dan Amerika Serikat yang juga memicu masalah ini.
“Miliaran dolar dana dari bank digunakan untuk menopang krisis deforestasi dan keanekaragaman hayati, dan ini harus dihentikan. Bank-bank yang disorot adalah beberapa bank terbesar di dunia, dan bank-bank ini secara rutin menyetujui pembiayaan yang melanggar komitmen lingkungan dan hak asasi mereka sendiri,” kata Robin Averbeck.
Dirilisnya laporan ini juga menandai peluncuran kampanye baru RAN untuk 17 perusahaan paling berpengaruh di dunia yang bisa menentukan nasib hutan hujan di Indonesia, Amazon, dan Lembah Congo. RAN menghimbau perusahaan dan bank-bank ini agar mengadopsi dan menerapkan praktik terbaik kebijakan ‘nol deforestasi, nol gambut, dan nol eksploitasi’ (NDPE) diseluruh rantai pasok komoditas yang berisiko merusak hutan, investasi (termasuk usaha patungan), dan seluruh bentuk usaha pelayanan keuangan hingga level grup usaha.
RAN juga menuntut adanya perhatian atas hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal dalam semua upaya untuk mereformasi rantai pasok serta melindungi dan memulihkan hutan, ekspansi perkebunan industrial tidak hanya menjadi salah satu pendorong deforestasi namun secara signifikan turut bertanggung jawab atas kekerasan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat. (Muchlas Dharmawan)