Kebijakan Kehutanan dan Energi Indonesia Masih Mengingkari Semangat Kesepakatan Paris

 Kebijakan Kehutanan dan Energi Indonesia Masih Mengingkari Semangat Kesepakatan Paris

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar berpidato pada penandatanganan kesepakatan Paris di New York bulan April 2016 lalu (Gambar: World Resources Institute)


Medialingkungan.com – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar mengakui pentingnya peran hutan dan energi terhadap perubahan iklim dalam pidato perubahan iklimnya pada COP22 di Marakkesh, Maroko (16/11). Namun, sepertinya pemerintah Indonesia tidak menunjukkan niat yang kuat untuk beralih dari ketergantungan terhadap batubara dan menghentikan deforestasi. Selain itu, pemerintah masih memperlihatkan keengganannya untuk keterbukaan  yang memungkinkan  dilakukannya pemantauan oleh publik, dan masih jauh dari tujuan pengurangan, target emisi Indonesia benar-benar mewakili peningkatan emisi gas rumah kaca sekitar sepertiga dari 2015-2030.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace Indonesia menerangkan bahwa diantara kebijakan Menteri LHK yakni moratorium konversi hutan alam sejak  tahun 2011 lalu, memperlihatkan kegagalan dalam melindungi jutaan hektar hutan dan gambut. Hal ini dapat dilihat dari  angka yang di keluarkan  oleh pemerintah saat ini  menunjukkan bahwa tingkat rata-rata deforestasi secara nasional justru meningkat. Lebih buruk lagi, dokumen UNFCCC Indonesia menunjukkan rencana pemerintah untuk melanjutkan penghancuran 13 juta hektar hutan dalam tiga dekade mendatang.

“Kita mengingkari deklarasi New York atas komitmen perlindungan hutan untuk mencapai nol deforestasi pada 2030,” ujar Kiki.

“Kebijakan lainnya yang disampaikan merupakan janji yang lama untuk mempublikasikan Peta Tunggal. Namun demikian kata “keterbukaan” sepertinya menjadi kata yang dihindari oleh pemerintah Indonesia. Menteri LHK saat ini justru mengajukan banding di pengadilan untuk melawan masyarakat sipil yang meminta transparansi atas data tutupan hutan dan tata ruang. Komitmen untuk mewujudkan penurunan emisi melalui kebijakan kehutanan adalah hal penting, tapi itu tidak akan berarti kecuali ada keterbukaan penuh terhadap data dasar, peta dan metodologi, yang memungkinkan pengawasan independen dan perhitungan akurat atas apa yang sebenarnya sedang terjadi di lapangan,” tambahnya.

Greenpeace Indonesia juga menekankan bahwa rencana pengurangan emisi Indonesia masih sangat lemah. Rencana pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 Megawatt masih mengalokasikan lebih dari 20.000 Megawatt untuk PLTU batubara. Target untuk energi terbarukan hanya  23% pada 2025 dan 31% pada 2030.

“Tak satu pun dari target tersebut akan dapat tercapai dengan paradigma berpikir dan kebijakan saat ini. Tidak ada dorongan untuk pengembangan energi terbarukan, bahan bakar fosil masih disubsidi dan lobi industri batubara memberikan pengaruh berbahaya dalam cara berpikir pemerintah Indonesia,” kata Hindun Mulaika, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Hindun menambahkan, bahwa Indonesia masih terus berinvestasi dalam industri kuno yang mematikan, mengancam kualitas udara, kesehatan rakyat Indonesia dan masa depan planet kita. Rencana pemerintah bahwa paling tidak 25% sumber energi akan berasal dari batubara selambat-lambatnya pada akhir 2050 mungkin akan menjadi sekedar rekaan. Dengan kebijakan yang ada saat ini, jumlah PLTU Batubara akan jauh lebih banyak dari itu. 

“Pengembangan bahan bakar fosil harus dihentikan sekarang. Tidak ada ruang lagi untuk  pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)  berbahan bakar batubara. Rencana energi Indonesia adalah  catatan bunuh diri bagi planet kita,” ujarnya. (Muchlas Dharmawan)


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *