Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
KLHK dan Kelembagaan Pengendalian Perubahan Iklim
Oleh : Adrayanti Sabar
Dosen Program Studi Kehutanan Universitas Indonesia Timur
Kebijakan perampingan di tubuh pemerintahan Jokowi meliputi berbagai bidang, termasuk kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan fusi dua kementerian, yakni Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Dampak perampingan ini juga menyuguhkan tugas baru pada KLHK. Adalah Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP-REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang merupakan dua lembaga yang tugas dan fungsinya diserahkan pada KLHK. Dapatkah dikatakan positif proses perampingan tersebut di tengah isu pemanasan global dan rumitnya upaya pengendalian emisi karbon?
***
Terhitung sejak tanggal 23 Januari 2015, melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 mengenai Struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan bahwa BP REDD+ dan DNPI dilebur ke kementerian ini. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa tugas dan fungsi penurunan emisi gas rumah kaca yang diselenggarakan Badan Pengelola REDD+ yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2013 diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.
DNPI juga menghadapi hal yang serupa. Dalam peraturan itu dinyatakan bahwa tugas dan fungsi perumusan kebijakan dan koordinasi kebijakan pengendalian perubahan iklim oleh DNPI sebagaimana diatur PP Nomor 46 Tahun 2008 kini menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.
DNPI yang dibentuk pada tahun 2008, sebenarnya memiliki peranan yang strategis dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim dunia. Dengan dihapuskannya badan ini, ada kemungkinan peran Indonesia dalam perubahan iklim akan mengalami buffering. Mengingat begitu banyaknya intrik birokrasi saat semua peran yang sifatnya strategis masuk dalam program kementerian.
Lebih menarik lagi BP REDD+, institusi yang baru meniti alur kelembagaan sebagai sebuah badan negara secara tiba-tiba harus dinon-aktifkan. Langkah dan program penanganan kerusakan hutan yang menjadi tugas badan Negara yang baru berusia setahun lebih ini kini berujung pada isapan jempol belaka.
***
Jika kita cermati lebih mendalam, sesungguhnya peleburan ini memiliki dua sisi positif. Pertama, semakin banyaknya badan-badan yang dibentuk akan berakibat pada ketimpangan kebijakan. Setiap institusi akan memiliki kebijakan-kebijakan tersendiri terkait bagian yang menjadi tanggung jawabnya.
Masuknya suatu kepentingan akan mempengaruhi arah kebijakan tersebut. Sehingga bukan tidak mungkin, kebijakan tersebut justru memunculkan gesekan horizontal dua institusi atau lebih terhadap penyelesaian satu problem yang sama.
Mungkin saja Jokowi bermaksud untuk mempercepat implementasi kebijakan, karena bersumber dari satu komando. Selain itu, cukup logis jika opini masyarakat yang berkesimpulan bahwa upaya tersebut perampingan ini sanggup menghemat anggaran yang selama ini digunakan secara tidak tepat sasaran dan tepat guna.
Kedua, pada lingkup tata kelola kehutanan terdapat mekanisme yang saling tumpang tindih. Dua badan tersebut pada hakikatnya tidak ada hubungan struktural dengan kementerian LHK. Sehingga dikhawatirkan tatkala suatu kepentingan masuk ke dalam salah satu institusi tersebut, maka akan timbul potensi gesekan. Mengingat objek kajiannya adalah hutan, yang secara lugas kita mengerti ada begitu banyak tangan yang ingin mengambil manfaat darinya.
Klaim BP REDD+ yang menyatakan bahwa pihaknya telah berhasil mengurangi laju deforestasi – setidaknya perlu dikaji ulang. Munculnya asumsi ini boleh jadi merupakan upaya badan negara itu untuk menjaga agar lembaganya tetap langgeng.
Sementara, pada tataran implementasinya, ditemukan bahwa laju deforestasi meningkat tajam dari tahun ke tahun. Sebagaimana dilansir oleh www.beritalingkungan.com menyebutkan penelitian terbaru yang diterbitkan oleh jurnal Nature Climate Change (29/06/2014) menyebutkan bahwa setahun setelah moratorium diterbitkan, deforestasi di Indonesia malah meningkat dengan cepat., Indonesia kehilangan 6,02 hektare hutan setiap tahunnya, terhitung antara tahun 2000-2012.
Terlepas dari klaim tersebut, sebenarnya yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana komitmen pemerintah terhadap hutan?
Meskipun dalam laporan resmi Kementerian Kehutanan menyatakan tidak separah itu, namun kenyataan lagi-lagi menyatakan bahwa luas hutan kita ini tidak pernah bertambah. Karena banyak atau sedikit — yang diambil dari hutan, pembalakan hutan tetap merugikan.
Sederhananya, meskipun dibentuk badan khusus untuk memulihkan kondisi hutan di Indonesia, tapi mereka tak boleh lupa bahwa mereka akan berhadapan dengan berbagai kepentingan. Bahkan tidak menutup kemungkinan — ada kepentingan asing di dalamnya. Karena setiap jengkal dari negeri ini sudah menjadi target eksploitasi asing.
***
Lalu bagaimana kondisi iklim dunia yang semakin memburuk akibat pembalakan liar?. Tidak hanya Indonesia, negara-negera lain pun perlu ikut andil dalam menciptakan iklim yang sehat, atau justru menghasilkan kondisi iklim yang buruk.
Seolah berjalan sambil duduk yang dilakukan secara bersamaan, disaat yang sama negara-negera maju mengecam pembalakan liar, namun di sisi lain — mereka mendirikan industri yang mengancam kondisi iklim dunia itu sendiri.
Bahkan yang lebih tragis lagi, negara-negara maju justru menjadi konsumen dari produk-produk hasil pembalakan liar. Hal yang menarik, tatkala mereka menggelontorkan biaya untuk REDD+, muncul satu pertanyaan, dari mana alokasi dana itu diperoleh?, mengingat dana yang dianggarkan tidaklah sedikit. Tentunya ada pihak tertentu yang memiliki kepentingan besar terhadap hutan Indonesia.
Kesimpulannya, peleburan kedua badan tersebut sebenarnya tidak akan menimbulkan salah persepsi tentang kehutanan. Pengelolaan yang profesional dan berbasis kemakmuran untuk seluruh masyarakat adalah kuncinya.
Tidak mesti harus ada badan khusus yang mengurusi deforestasi dan pengendalian iklim. Munculnya asumsi bahwa perampingan akan menghemat biaya itu kurang efektif dijadikan alasan. Karena dalam pengerjaannya juga justru bisa terjadi sebaliknya. Yang terpenting saat ini adalah optimalisasi kerja dari Kementerian LHK sebagai upaya transparan yang juga menjadi tugas bersama untuk mengawasinya. Akhirnya, peran serta seluruh pihak ini menjadi harapan kita semua dalam menciptakan iklim global yang lebih baik.