Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Pertemuan Internasional Masyarakat Adat dan LSM Rumuskan Strategi Atasi Deforestasi
Medialingkungan.com – Sejumlah perwakilan masyarakat adat dan LSM lingkungan yang datang dari 8 Negara mengikuti lokakarya internasional atau Workshop on Deforestation and the Rights of Forest Peoples di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 9-14 Maret 2014 lalu.
Dalam workshop tersebut para perwakilan bercerita dan mencari solusi mengenai berbagai persoalan terkait deforestasi, serta permasalahan perubahan fungsi hutan adat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Joji Carino, perwakilan Forest Peoples Programme (FPP) mengatakan bahwa Pertemuan ini membahas mengenai hak masyarakat adat dan komunitas lokal di dalam dan sekitar hutan. Berbagai perwakilan negara di Asia Tenggara, Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Utara mendiskusikan mengenai persoalan yang sedang berkembang sekarang ini.
Pada kesempatan kali ini Franky Samperante dari Pusat Studi dan Pendokumentasian Hak Masyarakat (Pusaka) memberikan contoh tentang Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 dan 45 yang mengakui bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, serta dalam peraturan lain dibawahnya baik di tingkat nasional maupun daerah sudah banyak yang mengatur mengenai pengelolaan hutan. Namun pada penerapan peraturan itu tidak berjalan baik.
Kalimantan tengah merupakan provinsi pertama yang dijadikan uji coba penyelamatan hutan. Dipilihnya Palangkaraya sebagai tuan rumah penyelenggaraan lokakarya menurut Franky, didasari tingkat deforestasi yang paling tinggi diantara daerah-daerah lain di Indonesia.
Sementara itu Oeban Hadjo dari Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Pojjer) mengungkapkan, proses deforestasi hutan di Kalimantan Tengah yang tinggi merupakan dampak dari perebutan wilayah kelola masyarakat, antara investor dengan masyarakat lokal. Selain itu juga terjadi perebutan wilayah hutan lindung yang dikelola pemerintah maupun proyek swasta, dengan masyarakat adat lokal.
Pada intinya bagaimana masyarakat adat dan lokal yang ada memiliki hak atas tanah, hak atas hutan, dan akses terhadap hutan yang dikelola dari dulu. Hal ini merupakan kewajiban dari pemerintah dala mengatur akses masyarakat dalam pengelolaan wilayah masyarakat adat utamanya di Indonesia dengan tingkat konversi lahan yang tinggi.
“Hasil pertemuan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang mampu menekan pemerintah, dalam hal kebijakan yang bersifat merusak hutan, seperti pertambangan dan perkebunan sawi,”tambah Franky.
Pengabaian keberadaan hutan adat di dalam hutan negara sebelum putusan MK itu menunjukkan posisi Pemerintah yang sesungguhnya, bahwa dengan fakta seperti itu memang hutan adat yang sah tidak dikehendaki Pemerintah.
Orientasi ekonomi melalui perizinan perusahaan besar menjadi prioritas utama, yang telah melenakan perhatian Pemerintah terhadap pengembangan ekonomi usaha kecil kehutanan sejak tahun 1970an hingga saat ini. (MFA)