RPP Gambut Masih Memiliki Potensi Untuk Merusak

 RPP Gambut Masih Memiliki Potensi Untuk Merusak

Pengrusakan hutan lahan gambut masih punya potensi besar. (gambar greenpeace)


Medialingkungan.com – Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut masih membuka celah bagi pengrusakan. Konstitusi tersebut masih diliputi pengecualian.

RPP yang sementara menunggu penandatanagan dari Presiden itu, meliputi aturan upaya restorasi/rehabilitasi gambut yang rusak sebagai tanggung jawab pengelola. Jika tak mampu, pengelola berpeluang membayar sejumlah biaya perbaikan lingkungan, yang besarannya berdasarkan kesepakatan para pihak.

”Kesepakatan pembiayaan ini sangat rawan jadi celah korupsi. Selain itu, jika besaran yang disepakati tak dapat memulihkan lingkungan, jadi beban pemerintah atau generasi mendatang,” kata Dr. Ir. Baba Barus, Msc, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Draf RPP Gambut, juga mengakui aspek legal penguasaan yang eksis di lahan gambut. Artinya, perusahaan yang belum atau sudah beroperasi akan diizinkan memanfaatkan lahan gambut hingga masa izin berlakunya habis. Pilihan itu sangat berisiko pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Aturan ini merupakan turunan dari UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebenarnya, kebijakan ini bisa menjadi alat menjamin perlindungan gambut, tetapi bisa sebaliknya kala terbuka banyak peluang perusakan.

Ia menunjukkan, RPP Gambut mengamanatkan minimal 30 persen dari ekosistem gambut jadi daerah lindung. Selain itu, daerah gambut sedalam lebih dari 3 meter, gambut dengan keanekaragaman hayati spesifik, dan gambut yang jadi kawasan lindung/konservasi di kawasan hutan juga diarahkan sebagai daerah gambut berfungsi lindung. Hasil penetapan daerah lindung dan budidaya itu selanjutnya diarahkan diadopsi ke rencana tata ruang wilayah.

Adapun data Kementerian Lingkungan Hidup yang menyatakan luas kesatuan hidrologis gambut (KHG) Indonesia 30 juta hektar, sedikitnya 10 juta ha jadi daerah lindung dan belum ditambah karakter spesifik lain.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil telah menyurati Presiden melalui Surat terbuka yang ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup,  Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri,  Kepala UKP4 dan Kepala BP REDD+.

Adapun koalisi tersebut terdiri dari Walhi, HuMa, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Forest Watch Indonesia (FWI), Bank Information Center (BIC), Debt Watch Indonesia, dan Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim. Juga, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Greenpeace, Sampan Kalimantan, Lingkar Borneo, KKI Warsi, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

dalam surat tersebut, koalisi mengkhawatirkan, RPP Gambut tak cukup kuat melindungi ekosistem gambut. Bahkan terkesan lemah jika dibandingkan dengan Inpres No.6 Tahun 2013. koalisi ini menegaskan bahwa semestinya ada upaya perlindungan total ekosistem gambut yang memiliki sifat tak terpulihkan. Namun, RPP terkesan ini masih memberi toleransi tinggi terhadap kerusakan ekosistem gambut dengan membagi menjadi fungsi lindung dan budidaya. (MFA)

 

 


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *