Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Fraksi Rakyat Sulsel Sebut Kepentingan Oligarki dalam Pilkada Kota Makassar Mengancam Lingkungan Hidup

[:en]Foto-foto pasangan calon walikota dan wakil walikota Makassar pada Pilkada 2020. Sumber: Rakyatku[:]
Medialingkungan.com – Tidak lama lagi,pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2020 terjadi di 270 daerah akan dilaksanakan, termasuk salah satunya Kota Makassar. Isu perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan dan keterlibatan oligarki dalam Pilkada Kota Makassar menjadi sorotan masyarakat. Fraksi Rakyat Sulsel mengadakan Konferensi Pers dengan tema “Kepentingan Oligarki dalam Pilkada Kota Makassar Tahun 2020” dengan narasumber Muhammad Al Amin dan Muh. Rizki dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI Sulsel), Edy Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Makassar), dan Melky Nahar dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada Rabu (25/11/20) via Zoom.
Diawal pembahasan, Melky memaparkan bagaimana jejak historis pesta elektoral di Indonesia khususnya Pemilihan Presiden dan Pemilihan legislatif 2019 sebagai pintu masuk oligark untuk memuluskan kepentingan ekonominya dengan mengendalikan kebijakan dan produk hukum.
“Dengan menjadi penyokong dana kampanye Pilpres 2019, Oligarki mengendalikan produk hukum seperti UU No 3 Tahun 2020 Tentang Minerba dan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja meski ditentang oleh berbagai lapisan masyarakat,” ujar Melky.
Lebih lanjut, Melky memberikan contoh dikeluarkannya perpanjangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) 2×10 Tahun secara otomatis kepada PT. Arutmin Indonesia milik politisi Aburizal Bakrie yang kontraknya telah berakhir sejak 1 November 2020. Kebijakan tersebut merupakan hasil dari revisi UU Minerba.
Kemudian menyoal Pilkada 2020, ia menekankan bahwa pesta demokrasi saat ini tidak memiliki urgensitas karena kewenangan pemerintah daerah yang telah direduksi hanya untuk menjalankan kepentingan elit ekonomi-politik dan sebagai pelaksana dari UU Minerba dan UU Cipta Kerja serta
“Tidak ada urgensinya, pesta demokrasi sekarang hanya ditujukan untuk memilih operator dari UU Minerba dan UU Cipta Kerja, siapapun yang terpilih akan tetap mengakomodir kepentingan partai politik pengusung dan mesti diketahui bahwa sebagian besar elit partai politik terlibat dalam perusahaan tambang dan sawit, sebut saja Surya Paloh, Airlangga Hartanto, Puan Maharani, Prabowo, dan Aburizal Bakri.” ujar Melky.
“Sebaik apapun calon kepala daerah akan menemukan jalan buntu karena kewenangan strategis sudah diamputasi oleh pusat maka tidak ada makna pentingnya untuk terlibat dalam pilkada 2020.” sambung Melky.
Muh. Rizki, Aktivis WALHI Sulsel menjelaskan tentang rekam jejak paslon dan tim pendukung yang terlibat dalam Pilkada Kota Makassar 2020. Ia menerangkan bahwa, calon walikota nomor urut 1, Moh. Ramdhan Pomanto yang pernah menjabat sebagai walikota Makassar tahun 2014-2019 dengan keterlibatannya sebagai penggagas RTRW Kota Makassar (Perda Kota Makassar No. 4 Tahun 2015), mengalokasikan ruang reklamasi Center Point of Indonesia dan Makassar New Port seluas 4.000 Ha. Ketua tim pemenangan paslon nomor 1, Iwan Darmawan Aras merupakan Pemilik PT. Wardana Artha Guna, perusahaan yang terbukti terjerat kasus larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat untuk pekerjaan pembangunan fasilitas Pelabuhan laut Takalar. Pendukung lainnya, Rusdi Masse merupakan suami dari Fatwamati Rusdi calon wakil walikota nomor urut 1. Rusid Masse merupakan anggota DPR-RI sekaligus pengusaha, ia pernah dilaporkan ke KPK atas dugaan gratifikasi untuk mengatur kouta impor buah.
Ia menambahkan, tentang calon walikota nomor urut 2, Munafri Arifuddin yang merupakan menantu dari Aksa Mahmud pendiri Bosowa Grup, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, energi, properti dan industri semen. Munafri juga tercatat sebagai bagian dari manajemen perusahaan yang disebut banyak melakukan aktivitas pencemaran lingkungan dan perampasan ruang hidup. Ketua tim pemenangan paslon nomor 2, Erwin Aksa yang merupakan anak dari Aksa Mahmud dan menjabat sebagai Komisaris Utama Bosowa Grup, juga merupakan pengurus Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Pusat sekaligus terlibat sebagai satuan tugas UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Omnibus law). Pendukung lainnya, Solihin Kalla merupakan anak dari Jusuf Kalla dan menjabat sebagai Presiden Direktur Kalla Grup yang memiliki usaha di bidang energi, kehutanan, properti, dan konstruksi. Anak perusahannya, PT Bumi Mineral Sulawesi membangun pelabuhan tanpa mengantongi izin terlebih dahulu yang berdampak pada kerusakan ekosistem hutan bakau.
Kemudian tambahnya, calon walikota nomor urut 3, Syamsu Rijal merupakan wakil walikota Makassar Tahun 2014-2019. Bersama Moh. Ramdhan Pomanto, ia menggagas RTRW Kota Makassar yang mengalokasikan ruang reklamasi Center Point of Indonesia dan Makassar New Port seluas 4.000 Ha. Pendukung paslon nomor 3, Fathul Fauzi Nurdin merupakan anak Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah. Dalam temuan Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Akbar Nugraha (Direktur Utama PT. Banteng Laut Indonesia) dan Abil Iksan (Direktur PT Nugraha Indonesia Timur dan PT Banteng Laut Indonesia) yang merupakan perusahaan yang memiliki konsensi pertambangan pasir laut di Kepulauan Sangkarrang sehingga berdampak buruk terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat Pulau Kodingareng. Pendukung lainnya, Ilham Arief Sirajuddin merupakan mantan walikota Makassar 2004-2014 yang pernah terbukti melakukan tindak pidana korupsi kasus PDAM.
Terakhir, ia menyebutkan calon walikota nomor urut 4, Irman Yasin Limpo merupakan adik dari Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel Tahun 2008-2018. Syahrul Yasin Limpo terlibat dalam Reklamasi Center Point of Indonesia. Wakilnya, Andi Zunnun NH merupakan anak dari Nurdin Halid, pengusaha dan politisi golkar. Ia pernah terjerat kasus korupsi minyak goreng Bulog saat menjabat sebagai Ketua Koperasi Distribusi Indonesia.

Sumber: Screenshot Paparan Materi Muh. Rizki (WALHI Sulsel) via Zoom
Edy Kurniawan, Aktivis LBH Makassar memberikan contoh kasus konflik sumberdaya alam dan agraria yang terjadi di Makassar sepanjang tahun 2015 sampai sekarang yang notabene pelakunya atau pejabat berwenang saat itu adalah orang-orang yang terlibat dalam kontestasi Pilkada Kota Makassar.
“Reklamasi CPI menggusur 45 KK, beberapa calon dan jejaring calon terlibat dalam Reklamasi CPI seperti kerabat atau kakak calon walikota nomor 4 yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulsel, calon walikota nomor 1 dan nomor 3 sebagai penggagas RTRW Kota Makassar yang melegitimasi ruang reklamasi. Selain itu, terdapat penggusuran PK5 UNM, penggusuran pandang raya, upaya penggusuran bara-barayya dan pulo gading, dan perusakan hutan mangrove di Lantebung.” ujar Edy.
“Seperti kita ketahui para kontestan dan kerabatnya pernah menduduki jabatan publik di Kota Makassar, Tapi para kontestan dan kerabatnya tidak berbuat apa-apa bahkan dalam beberapa kasus justru terlibat aktif sehingga dianggap membiarkan terjadinya konflik di Kota Makassar.” sambung Edy.
Amin, Direktur Walhi Sulsel memberikan rincian korban terdampak dari pembangunan reklamasi Center Point of Indonesia yang terdiri dari 1456 nelayan pulau Kodingareng, 300 nelayan Cambaya, 64 nelayan Kalukubodoa, 156 nelayan dan perempuan nelayan Tallo.
Dalam paparannya, ia menambahkan bahwa kontestasi Pilkada Kota Makassar bukanlah untuk melayani kepentingan rakyat ataupun keberlangsungan lingkungan hidup namun akan terjebak dalam hutang politik sehingga hanya akan melayani kepentingan partai politik, pemodal yang telah mengusung dan mendanai pencalonan mereka.
“Pasangan calon tidak berdiri sendiri tapi berhutang politik terhadap partai pengusung, tim kampanye, dan pemodal yang kemudian menggantinya dengan regulasi, proyek pembangunan, dan mengamankan proyek strategis nasional sehingga akan mengancam kelangsungan lingkungan hidup dan rakyat Makassar. Rakyat yang memilih, rakyat yang digusur dan dimiskinkan” tegas Amin.