Serba-Serbi Nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 Serba-Serbi Nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Kabinet Kerja Periode 2014-2019 , Siti Nurbaya Bakar (Gambar:tokohindonesia)


Medialingkungan.com – Mengatasnamakan Kabinet Kerja, Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan JK, sapaan akrab mereka, ingin tancap gas pasca pelantikan menteri-menterinya. Sesuai dengan tagline yang sering ia ucapkan ‘kerja, kerja, kerja”, Jokowi beserta formasi kabinetnya diprediksi akan mengalami beberapa tantangan besar diawal pemerintahannya.

Salah satu yang menjadi topik banyak kalangan adalah perubahan beberapa nomenklatur kementerian. Salah satunya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jokowi berdalih, perampingan kedua kementerian ini menjadi satu merupakan bentuk penyesuaian isu – bahwa di pemerintahannya, Jokowi ingin memberikan perhatian serius terhadap persoalan lingkungan hidup dan kehutanan.

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), melalui anggotanya, Muhammad Alif Sahide, saat dihubungi oleh medialingkungan mengatakan, penyatuan lingkungan dan kehutanan bukan hanya menyulitkan dalam tahun pertama mengadaptasikan mata anggaran dalam nomenklatur yang baru, tetapi juga sistem hukum lingkungan dan sistem hukum kehutanan sudah mesti diadaptasikan dengan manajemen baru lewat satu kementerian.

“Siapapun menterinya, ia harus mampu menghadapi tantangan itu,” ujar Alif.

Ia menambahkan, selain mata anggaran, reformasi agraria sektor kehutanan juga dianggap belum tuntas. “belum lagi tantangan perubahan iklim global yang juga mesti dicermatinya.”

Siti Nurbaya dituntut integritas dan pemahaman persoalan LH dan hutan

Kompak menggunakan kostum batik berwarna coklat sesuai arahan presiden, 34 menteri Kabinet Kerja periode 2014-2019 dilantik di Istana Negara, Jakarta, Senin (27/10) pukul 11.30 WIB. Tak satupun dari mereka menggunakan jas, bahkan keluarga yang hadir sekalipun pasalnya wajib menggunakan dresscode yang sama.

Pada sesi foto bersama Kabinet Kerja, tampak sosok perempuan berkacamata, berdiri pada baris keempat (terakhir) – yang sejajar di belakang Jokowi dan JK. Adalah Siti Nurbaya Bakar, Nahkoda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari professional partai (ucapan jokowi). Sosok kartini berusia 49 tahun ini mengawali karirnya sebagai pegawai negeri sipil dengan tugas sebagai penyuluh pertanian spesialis di Provinsi Lampung tahun 1979.

Ditunjuk sebagai menteri, Siti Nurbaya mengaku telah memiliki program untuk melumat mafia hutan di Indonesia. Kendati demikian, ia tak mau gegabah dan main tancap gas, ia masih menunggu arahan dari Jokowi terkait pemberantasan ‘pemain’ hutan.

Dikenal sebagai salah satu tokoh muda yang santun, berintegritas, dan prestisius, Alif kemudian berseloroh bahwa meskipun ia seorang tokoh muda yang berlatar belakang bukan seorang profesional (dari kalangan parpol) yang jejaknya banyak bergelut dibidang lingkungan hidup dan kehutanan – “tidak cukup bermodalkan intergritas tinggi”.

“Seorang menteri saat ini bukan hanya dituntut memiliki integritas tinggi tetapi juga pemahamannya yang luas atas persoalan kehutanan dan lingkungan, kata Alif.

Sementara itu, Martua Sirait, dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pada mongabay mengatakan, Siti Nurbaya memiliki pengetahuan dan pengalaman mumpuni dalam memimpin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, katanya, dia pengajar lingkungan dan pemgembangan wilayah di pasca sarjana IPB.

“Dia punya kemampuan me-main streaming perpektif lingkungan hidup ke dalam Kehutanan,” dalam tulisan Mongabay yang dirilis pada Minggu (26/10).

Dalam publikasi tersebut, Mongabay mencatat bahwa menurut Martua, ada beberapa pekerjaan urgen yang mesti mendapat perhatian segera. Pertama, pengkajian penerbitan izin-izin HTI diatas hutan gambut, konversi hutan gambut untuk kebun, pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha tambang.

Kedua, pengalaman Siti Nurbaya sebagai sekjen Depdagri, meletakkan sentral untuk menyelesaikan status 30.000 desa beserta lahan lahan produktif di dalam kawasan hutan. Termasuk, pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang kini terus mengalami kriminalisasi.

Ketiga, Siti Nurbaya sebagai ahli pengembangan wilayah, tentu paham proses tata ruang di daerah. Jadi, diharapkan bisa mendorong penjabaran kawasan perdesaan di dalam UU Tata Ruang 2007 baik di dalam dan di luar kawasan hutan.

Tak sampai disitu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Nasional (Walhi), Abitnego Tarigan mengatakan, sekelumit kekhawatiran tengah membayangi wajah Kemeterian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. Betapa tidak, “perubahan nomenklatur kemeterian ini membuat situasi rumit bertambah rumit.”

Tentang perkawinan dua kementerian ini, menurut Abetnego, tidak memberikan indikasi ada distribusi kewenangan, tetapi memperbesar kewenangan. “Asumsi lingkungan hidup akan menjadi arus utama sangat layak diragukan karena yang berpotensi terjadi arus utama kehutanan di lingkungan hidup. Akhirnya jebakan persoalan lingkungan hidup di Indonesia adalah persoalan kehutanan.”

Ia mengingatkan bahwa selain pembenahan birokrasi, tugas mendesak yang juga harus segera dilakukan adalah mengatasi perubahan iklim dengan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang kuat. “Indonesia, emiter karbon utama dunia dan sebagian besar dari kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut. Moratorium hutan perlu diteruskan dan komitmen penurunan emisi 26-41% perlu diperkuat.” (MFA)


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *