Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
COP 21 dalam Kondisi Mencemaskan

Konferensi perubahan iklim PBB ke-21 (COP 21) di Paris {Gambar: istimewa}
Medialingkungan.com – Sudah masuk sepekan negosiator dari 195 negara melakukan perundingan pada konferensi peubahan iklim PBB. Pertemuan Para Pihak ke-21 (COP-21) akan diakhiri dengan kesepakatan pada level menteri. Kebuntuan saat proses negosiasi disertai isu diferensial, mendorong perundingan tingkat dunia ini mengkhawatirkan dalam mengatasi perubahan iklim.
Demikian yang dilaporan wartawan Kompas, Brigitta Isworo Laksmi, Sabtu (05/12), saat temu media dengan delegasi RI di kompleks COP-21 Konvensi kerangka Kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), di Paris.
Narasumber dalam pertemuan tersebut, yaitu Utusan Khusus Presiden RI Rachmat Witoelar, Wakil Ketua I Delegasi RI Nur Masripatin, negosiator bidang mitigasi Emma Rachmawaty, negosiator bidang adaptasi Sri Tantri Arundati.
Ia katakan bahwa akan lahir Perjanjian Paris dan keputusan untuk Pre-2020 pada konferensi itu. Draft dari rancangan Perjanjian Paris itu akan dibawa pada menteri. “Dari pengalaman beberapa COP, kita tak tahu bagaimana akhirnya, “ungkap Masripatin.
Ia menyontohkan, seperti di Durban, Afrika Selatan — proses kesepakatan akhir pada tingkat COP berlangsung hingga dini hari tanpa jeda, hingga akhirnya diputuskan kesepakatan bersama — pukul 05.30 waktu setempat.
Sementara itu, Rachmat mengatakan, “Akhirnya format perundingan akan sedikit berubah, tadinya perundingan dari teks akhirnya akan membuat kesepakatan, menteri-menteri mencari GiveAndTake. Itu tak baik, karena bisa mengingkari kebutuhan dari keputusan.”
Lebih lanjut ia tegaskan, “Negosiasi ini saya kritik, seluruh COP ini lupa, musuh kita bersama ialah perubahan iklim, bukan ancaman dari kita. Kita masih mengurusi hal tak perlu. Jika tak sibuk dengan itu, ancaman perubahan iklim bisa diatasi,” jelasnya.
Semua teks yang dibawa ke Paris lewat persiapan sejak COP-20 tahun lalu, pertemuan di Geneva, Swiss, dan Bonn, Jerman, lebih dari 3 kali. “Mungkin karena negosiator berpikir Business as Usual. Kita jangan lihat kepentingan diri dan su’udzon ke yang lain. Kita harus menerima baiknya, tetapi kita tak berhasil sampai terakhir,” kata Rachmat seperti dilansir Kompas.
Melalui perumpaan ia melintir proses pada COP Paris. “Isu diferensiasi ibarat menyeberang sungai. Kalau dia pakai sepatu bot, ya, kita pakai sepatu bot sehingga kita menyeberang dikasih sepatu bot. Tujuannya, menyamakan kinerja agar semua tertolong. Tiap kepala negara berkemauan sama, tetapi kemauan negosiator beda dengan kepala negaranya. Sebab, ada negosiator bukan dari negara itu sendiri, banyak negosiator bayaran,” ucapnya.
Dalam temu media itu juga Emma Rachmawaty menyampaikan kondisi paling pelik dalam perundingan akibat adanya hal yang bergeser dari konsep yang disusun dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC), khususnya sisi dukungan yang dihilangkan dari aksi mitigasi. “Padahal, kebutuhan di mitigasi spesifik, bagaimana INDC (niatan nasional kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca) dilakukan. Sebab, negara berkembang butuh dukungan,” kata Emma.
Menurut Emma, isu dukungan itu digeser ke paragraf pendanaan, teknologi transfer, dan peningkatan kapasitas. Bahkan, ada isu mengganti istilah INDC menjadi NDMC atau National Determined Mitigation Contributions.
“Kontribusi menyangkut mitigasi saja. Kalau disepakati, nanti dibahas cara pelaporan atau akuntingnya. Negara AS minta akuntingnya sama sehingga saat digabungkan bisa dihitung,” jelasnya.
Lebih lanjut ia sampaikan bahwa sejumlah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia merasa keberatan terhadap negara maju yang berada dalam annex 1 karena telah menggunakan akunting baku, sedangkan negara berkembang masih belum menerapkan hal tersebut.
Menyikapi hal demikian, Jepang mengusulkan agar diberlakukan tingkatan akunting — terlebih bagi negara yang akan terkena aturan akunting dalam REDD+ (Reduksi Emisi Dari Deforestrasi dan Degradasi-Plus).
Pada tahap mitigasi perubahan iklim, Indonesia dan sejumlah negara berkembang berusaha agar dukungan dari negara maju ke negara berkembang tidak hilang.
Sementara itu, Sri Tantri Arundati menekankan bahwa soal kerugian dan kerusakan, bersama G-77 dan Tiongkok berupaya agar ‘artikel’ kerugian dan kerusakan berbeda dengan ‘adaptasi’, melainkan dijadi hal khusus yang pada akhirnya REDD+ tetap berada dalam teks, dipisahkan dengan aksi bersama mitigasi-adaptasi.
Akhirnya, REDD+ tetap di teks, dipisahkan dengan aksi bersama mitigasi-adaptasi. “Ujungnya, bagaimana negara-negara maju beri kompensasi ke negara berkembang atau tertinggal yang tertimpa dampak perubahan iklim,” kata Sri. {Fahrum Ahmad}