Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Hasil Evaluasi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Terkait Kebijakan Kehutanan Riau
Medialingkungan.com – Pembakaran lahan di Riau diakibatkan adanya perizinan konversi lahan dari hutan hujan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan sekitar 1/4 juta Ha hutan hujan di Sumatera terkonversi menjadi lahan kelapa sawit tiap tahunnya.Hutan hujan Riau merupakan habitat utama salah satu fauna endemik Indonesia, Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Jenis ini berstatus Critically Endangered dalam redlist database International Union for Conservation of Nature (IUCN) yaitu jenis beresiko punah dalam waktu dekat. Sementara di CITES jenis ini termasuk Appendix 1, yaitu satwa yang terlarang diperdagangkan dalam dunia international.
Catatan Greenpeace pada Oktober 2013 menunjukkan bahwa 400 ekor dari populasi harimau secara keseluruhan berada di hutan Riau. Namun populasi ini terus menuai ancaman akibat pembukaan lahan. Salah satunya adalah efek tepi, hal ini mendesak habitat untuk menemukan habitat yang baru demi kelangsungan hidupnya. Tak hanya itu, kebakaran hutan yang belakangan ini melanda Riau sukses meluluh lantahkan habitat dan mengurangi jumlah populasi.
Kebakaran yang terjadi di riau memiliki dampak yang lebih luas khususnya pada pemanasan iklim global. Setiap tahunnya 1,8 milliar ton emisi rumah kaca terlepas ke atmosfer akibat perusakan dan pembakaran lahan gambut. Kebakaran hutan yang terjadi pada provinsi dengan lahan gambut terluas di dunia ini menyumbang sekitar < 4% total emisi gas rumah kaca (GRK).
Hutan gambut adalah hutan dengan kondisi tanah organosol atau memiliki kandungan organik yang tinggi. Kandungan organik tersebut didapatkan dari sisa-sisa penimbunan dan pembusukan tumbuhan yang belum selesai, namun sudah berlangsung secara berulang dan dalam waktu yang sangat lama.Salah satu guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir Yusran Yusuf, M.siketika diwawancarai mengatakan teknologi apapun tak akan mampu memperbaiki lahan gambut, apalagi dengan melakukan konversi sebagai kebun sawit. Hal tersebut bukan solusi wajar.
Beliau juga mengatakan bahwa berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi dari hasil kayu maupun non-kayu hanya berkisar 10% saja keuntungan yang diperoleh dari hutan ataupun lahan yang sekarang menjadi lahan kelapa sawit dan sisanya adalah keuntungan dari sisi fungsi ekologis hutan yang tak ternilai harganya.“Biodiversity lokal juga tak akan tergantikan dengan teknologi apapun kecuali terjadi secara alami dan itu membutuhkan waktu yang lama dalam suksesi primernya,” lanjut Prof. Yusran.
Berdasarkan peramalan ektrapolatif bahwa reliabilitas pemerintah dalam pengukuran tren atas jumlah kejahatan tidak cermat dengan mengeluarkan izin konsesi lahan. Hal tersebut menunjukkan persistensi terhadap pola-pola yang teramati sebelumnya (di masa lampau) terbukti benar dengan terjadinya kebakaran hutan saat ini.Secara realistis disimpulkan bahwa Izin kelola hutan di Riau mesti di cabut karena dianggap gagal dalam pengendalian kegiatan pengelolaan hutan dengan mengurangi atau menghilangkan fungsi utama hutan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No.3 tahun 2008.
Pertimbangan teknis dan usulan penetapan tersebut kini tidak lagi memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan baik pada rencana jangka pendek, maupun rencana jangka panjang sekalipun masih mengacu pada rencana porvinsi dan kabupaten sebagaimana dimaksudkan pada pasal 13 dalam PP tersebut.Beliau menambahkan tertera jelas pada UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan dan UU no.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa dalam proses pengelolaan hutan dan lingkungan hidup harus sesuai prinsip-prinsip lingkungan.“Jika tidak sesuai dengan aturan maka akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan praktek pengelolaan yang tidak prosedural,” tambahnya. (MFA)