Tititpan Dekrit Rakyat Untuk Presiden Terpilih

 Tititpan Dekrit Rakyat Untuk Presiden Terpilih

Koalisi Masyarakat Sipil Kalbar melakukan aksi di Tugu Digulis Bundaran Universitas Tanjungpura Pontianak, pada Sabtu 5 Juli 2014 (gambar: Aseanty Pahlevi)


Medialingkungan.com – Antusias masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu) hari ini memantik ketakutan dan keragu-raguan sebagian orang di Bumi Khatulistiwa. Puluhan warga beberapa hari lalu berkumpul di Tugu Digulis Bundaran Universitas Tanjungpura Pontianak, pada Sabtu sore, 5 Juli 2014.

Massa yang berkumpul itu kemudian mengadakan aksi dengan mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat yang menyerukan Dekrit Rakyat. Disertai spanduk sepanjang 30 meter, Hendrikus Adam, koordinator aksi mengungkapkan, Dekrit Rakyat ini merupakan dekrit penyelamatan manusia dan lingkungan. Koalisi tersebut terdiri dari gabungan sejumlah elemen Civil Society Organization (CSO), dan lembaga kemahasiswaan.

Aksi sengaja dilakukan dengan memanfaatkan minggu tenang, agar dua pasangan Calon Presiden mau berpikir ulang mengenai alternatif lain yang digunakan untuk menyokong perekonomian Indonesia, selain sumber daya alam.

“Kami memandang keselamatan rakyat dan lingkungan sebagai target capaian akhir dari proses Pemilu. Hakikat demokrasi yang sedang berlangsung ini dinilai bermuara pada kepentingan rakyat. Maka orientasi kepentingan keselamatan manusia dan lingkungan harus ditempatkan pada proporsinya,” kata Adam. Demikian seperti dilansir di Mongabay Indonesia.

Ke-sembilan poin Dekrit Rakyat Kalbar yang ditujukan kepada Presiden RI terpilih ini adalah (1) Negara sungguh-sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi warga negara Indonesia (2) Tidak menempatkan aparat sebagai alat kepentingan pemodal yang melakukan tindakan represif kepada rakyat untuk mempertahankan hak hidupnya (3) Lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan korporasi atas dasar keadilan dan kemanusiaan dengan memastikan penataan ulang relasi negara, modal dan rakyat (4) Menyediakan ruang hidup yang seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia serta memelihara keberlanjutan lingkungan hidup (5) Mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (6) Menyelesaikan konflik agraria dan lingkungan hidup secara tuntas dengan mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan (7) Memulihkan kerusakan ekologis sebagai akibat kebijakan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan yang eksploitatif (8) Menghentikan usaha kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang merusak, mengabaikan daya dukung lingkungan dan tidak membela kepentingan rakyat (9) dan Mewujudkan pemenuhan dan perbaikan infrastruktur yang memihak kepentingan rakyat Indonesia dan lingkungan hidup secara berkeadilan khususnya di Kalimantan Barat.

Dalam menyampaikan aspirasi tersebut, aksi ini lantas diisi dengan sejumlah orasi-orasi. Selain itu, sebuah aksi teaterikal juga digelar yang dilakukan melalui pola-pola gerakan  semiotik terkait kondisi lingkungan dan kebijakan pemerintah yang hanya memikirkan kepentingan ekonomi semata.

“Bencana dan kerusakan lingkungan, konflik agraria, ketidakadilan, dan tragedi kemanusiaan yang berakar dari persoalan struktural, bukan rahasia lagi bagi masyarakat luas selama ini,” paparnya.

Direktur Walhi, Anton P Wijaya menambahkan, isu lingkungan hidup harus menjadi isu utama yang diperhatikan oleh Calon Presiden Indonesia.

“Harusnya menjadi isu utama atau isu sentral, karena mengatur hajat hidup masyarakat Indonesia,” katanya.

Momentum ini dimanfaatkan juga karena belum melihat satu komitmen yang kongkrit dari Capres yang ada. Menurutnya, presiden yang terpilih harus memastikan kedaulatan pangan bisa terjadi di Indonesia, keselamatan terkait dengan energi juga diperhatikan, dan yang terpenting adalah kelestarian lingkungan hidup.

Catatan rantai kasus

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar lahan dan 139.874 kepala keluarga (KK) di seluruh Indonesia. 

Konflik tersebut berasal dari berbagai sektor, yakni perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78 persen), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46 persen), pertambangan 38 konflik (10,3 persen), kehutanan 31 konflik (8,4 persen), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44 persen) dan lain-lain 6 konflik (1,63 persen).

Sedangkan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat, sepanjang 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi di Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalbar.

Walhi Kalbar mencatat, terdapat sekiranya 465 kasus terkait lingkungan di Kalbar dalam rentang waktu 2008, 2011 hingga Juni 2013.

Berdasarkan tinjauan lingkungan hidup tahun 2014, Walhi mengklaim — bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam.

Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1.392 kali atau setara 293 persen.

Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 provinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Di Kalbar, banjir terparah yang menelan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di Kecamatan Menjalin.

Data Bencana Ekologis Tahun 2013. Sumber : Walhi

Walhi mencatat, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan, dengan persentase 82,5 persen. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam, dan agraria.

Anton menegaskan, aksi Dekrit Rakyat juga merupakan peringatan kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi.

Lengahnya pengawasan institusi terhadap beberapa kementerian yang holding dalam penentuan keputusan menyebabkan akses pelepasan lahan menjadi tak terkawal. Akibatnya, perizinan atas lahan dengan sangat mudah doperoleh.

Ia menuturkan bahwa sistem organisasi yang dibutuhkan adalah dengan perizinan satu atap, sehingga bisa diketahui, dikontrol dan direview izin-izin yang tengah bermasalah di lapangan. Termasuk mencabut produk hukum yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi diatasnya.

Khalisa Khalid, Departemen Kajian dan Pengelolaan Sumber Daya Energi Walhi, mengutip survey yang dilakukan TEMPO, menyebutkan isu lingkungan hidup baru mencakup 2 persen pada pemilihan Presiden tahun ini.

“Ini menjadi menarik tantangan agar publik bisa mengkritisi hal ini. Cerminannya pada bencana ekologi di Indonesia, merupakan akibat dari pengambilan kebijakan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan,” kata Khalisa dalam seminar yang dihelat Walhi di Pontianak.

Ia mengungkapkan, sepanjang tahun 2013 lalu, terdapat 394 bencana ekologi di Indonesia. Bencana tertinggi terjadi di Jawa Barat mencapai 177 peristiwa, diikuti Aceh 79 peristiwa, Nusa Tengga Timur 56 peristiwa, Sulawesi Selatan 56 peristiwa dan Kalimantan Barat 27 peristiwa. Jumlah korban mencapai 565 jiwa.

“Masyarakat harus memahami, isu lingkungan adalah juga isu politik karena menyangkut kebijakan, sehingga patut dikritisi,” katanya.

Saat ini, seluruh masyarakat Indonesia dihadapkan padapuncak perayaan pesta demokrasi 5 tahunan, pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Dekrit ini menitipkan sebuah pesan khusus untuk pemimpin Nusa Cendana kelak. Demokrasi yang awalnya bertujuan mendekatkan rakyat dengan penguasannya jangan berbalik dan akhirnya menjadi arena baru bagi elit tertentu.

Mereka berharap, Presiden RI selanjutnya mewujudkan pemenuhan dan perbaikan infrastruktur yang memihak kepentingan rakyat Indonesia dan lingkungan hidup. (MFA)


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *