IPCC: Bambu dan Rotan “Peluang Besar” Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Bambu di salah satu desa yang telah memegang surat izin pengelolaan produksi hutan bukan kayu (gambar:dok)
Medialingkungan.com – Ketua Panel Perubahan Iklim Antar-pemerintah (IPCC), Rajendra K. Pachauri pada konferensi puncak Forest Asia 2014 mengatakan bahwa bambu dan rotan memberikan “peluang besar” untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Kelebihan bambu dan rotan serta spesies hutan penting lain adalah pelaksanakan adaptasi dan mitigasi secara simultan dengan berfokus pada spesies yang benar-benar menjadi sumber daya luar biasa bagi manusia,” ujar Pachauri.
Penelitian oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional CIFOR) dan Internasional Network for Bamboo and Rattan menunjukkan nilai bambu sebagai sumber daya rendah karbon untuk makanan, material konstruksi, serat dan bahkan energi ketika sisa material digunakan sebagai arang.
Bambu dan rotan adalah dua dari banyak produk hutan bukan kayu (PHBK) yang seringkali tak masuk hitungan informasi kebijakan karena tidak secara jelas diklasifikasi sebagai pertanian atau kayu. Akibatnya, bambu tidak masuk dalam pantauan, baik kementerian pertanian atau kehutanan, kata Manoj Nadkarni, Manajer Program Produk Hutan Bukan Kayu di INBAR.
Mengingat hal ini, “Tata kelola berkelanjutan produk hutan bukan kayu memerlukan banyak koordinasi,” kata Hans Friederich, Direktur Jenderal INBAR.
Di Indonesia, Kementerian Kehutanan mengakui bahwa PHBK memerlukan perhatian lebih dalam kebijakan, kata Tachrir Fathoni, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Fathoni memaparkan bahwa kayu hanya bisa mewakili 10 persen dari nilai yang ditemukan dalam hutan, sementara 90 persen nilai ektraksi lebihnya, ada pada PHBK.
Dalam sebuah rilis yang diterima Medialingkungan dari CIFOR mengatakan, sebagai upaya memberi “rumah” bagi kebijakan PHBK, kementerian Kehutanan melakukan promosi beragam PHBK melalui beberapa varian program khusus. Kementerian juga telah mengidentifikasi dan mengklasifikasi lebih dari 500 PHBK di Indonesia.
“Satu dekrit penting menginstruksikan pemegang ijin memberi akses pada desa hutan dan masyarakat dalam tata kelola hutan, termasuk akses pada produk hutan bukan kayu, “ kata Fathoni.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Pada 2009, kementerian menciptakan strategi pengembangan PHBK, memilih beberapa produk khusus dari wilayah percontohan.
Disamping itu, Fathoni juga menyoroti beberapa area yang membutuhkan upaya ekstra dalam mendukung pengembangan PHBK di Indonesia. Terdapat beberapa maslah yang dianggap masih mendekap keberhasilan program tersebut, yakni masalah akurasi data dan informasi, pembangunan industri hulu dan hilir, dan keterbatasan ketersediaan teknologi pemrosesan.
Strategi PHBK Indonesia menawarkan contoh positif upaya pemerintah nasional memberi peran PHBK seperti bambu dan rotan. Panel menyimpulkan bahwa upaya seperti ini seharusnya dikembangkan. Penelitian dan komunikasi adalah dua celah penting yang dilihat panel dalam pengembangan bambu dan rotan. Friederich meminta lebih banyak penelitian produksi dan penggunaan industrial bamboo.
Sebagai tambahan, panel meminta komunikasi lebih baik untuk membujuk konsumen membeli lebih banyak bahan material seperti bambu dan rotan.
“Masih ada orang menyebut bambu sebagai kayu orang miskin; saya menyebutnya kayu orang cerdas,” katanya. “Bagaimana kita meyakinkan orang tidak membeli jati tetapi membeli bambu,” katanya pada rilis ini.
Pachauri meminta industri swasta mengisi celah ini. “Ini benar-benar tugas bagi disainer, pengiklan, orang pemasaran sehingga persepsi kita berubah soal bambu ini,” katanya. “dan itu akan membuat perubahan besar di keseluruhan lingkaran produksi, konversi dan pemasaran.” (MFA)