Perubahan Iklim Sebabkan Sakit ?


Oleh : Sri Putriana, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Bukti-buktinya mencemaskan. Perubahan iklim membahayakan kesehatan manusia. Demikian yang dikatakan Margaret Chan, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada konferensi pertama iklim dan kesehatan pada Agustus lalu.

Perubahan iklim tak hanya menjadi fokus dari mereka yang bergelut di bidang lingkungan hidup, bahkan dunia medis juga. Gelombang panas dan semakin tingginya suhu meresahkan manusia dan menjadi tantangan besar dalam dunia medis.

Gelombang panas bisa menyebabkan kematian ribuan orang, bahkan puluhan ribu. Kita tentu ingat, gelombang panas yang menjadi top rekor pada tahun 2003 di Eropa, menyebabkan sekitar 70.000 orang lebih meninggal dunia. Fakta ini tentu memberikan gambaran eksplisit bahwa perubahan iklim mempengaruhi segala aspek kehidupan.

Salah satu penyakit yang berbahaya – yang tengah mengintai manusia dan dengan cepat menyebar di seluruh dunia, Malaria, setiap tahunnya menelan korban hingga 600.000 orang. Penyakit yang dilekatkan pada wilayah tropis ini, di masa mendatang bisa jadi merambah negara-negara “lebih dingin” dan daerah-daerah lebih tinggi. Penyebabnya, fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah membuat daerah-daerah itu menjadi lebih hangat.

Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu udara dan curah hujan pada suatu daerah. Dengan tidak adanya sistem drainase yang baik maka akan terbentuk genangan-genangan air yang sangat cocok untuk tempat berkembang nyamuk Anopheles yang kemudian terjangkit parasit Plasmodium (ovale, malariae, falciparum, vivax) dan menginfeksi mereka yang terkena gigitan nyamuk ini.

Penyakit malaria merupakan suatu penyakit ekologis. Meski ditularkan oleh nyamuk, penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan parasit malaria.

Berubahnya pola iklim dan intensitas curah hujan dengan indikasi peningkatan gas rumah kaca (GRK) membawa beberapa konsekuensi, seperti peningkatan laju penguapan yang memicu peningkatan curah hujan, kemarau basah, dan cuaca ekstrem.

Untuk mengantisipasi peningkatan kasus penyakit tersebut, pemerintah harus bisa melakukan upaya mitigasi. Beberapa cara yang dapat dilakukan dengan mengurangi sumber-sumber penghasil GRK seperti gas karbon dioksida (CO2) yang bisa ditumbulkan dari industri atau kendaraan bermotor.

Selain itu, adaptasi melalui sinerjitas program pengendalian dan pencegahan secara menyeluruh dan terpadu dengan penguatan pengawasan kegiatan di lapangan.

Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Pada survei kesehatan nasional tahun 2001 didapatkan angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun.

Sementara itu, United Nation Development Program (UNDP, 2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta pertahun. Kasus malaria di Jawa dan Bali selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari 18 kasus per 100 ribu penduduk pada 1998, menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk pada 2000, atau naik hampir tiga kali lipat. Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar 60% dari tahun 1998–2000. Kasus terbanyak ada di NTT yaitu 16.290 kasus per 100 ribu penduduk.

Penanganan melalui bantuan obat, benarkah efektif ?

Benar, perlu penangan cepat saat terinfeksi penyakit ini. Penggunaan obat-obatan menjadi jalan keluar untuk penanganan cepat. Namun, resistensi obat terhadap seringnya penggunaan anti malaria secara tidak benar juga bisa mejadi bumerang. Resistensi terhadap obat anti-malaria bisa disebabkan beberapa faktor, terutama faktor genetik (mutasi gen) dari Plasmodium falciparum.

Untuk mencegah kondisi ini, pengobatan sebaiknya digunakan melalui kombinasi sebagai ACTs (Artemisinin-based Combination Therapies), dan bukan artemisinin monoterapi , yaitu penggunaan satu artemisinin berbeda dan dikombinasikan dengan pil anti malaria lainnya.

Dalam dunia medis, pengobatan single-drug dapat meningkatkan kemungkinan parasit berkembang dan menjadi kebal terhadap obat. Sementara itu, pengobatan dini terhadap malaria akan mengurangi durasi pengobatan, mencegah komplikasi serta memungkinkan terjadinya kematian.

Sekawanan dengan malaria, penyakit diare juga demikian mengancam. Akibat diare, sekitar 600.000 anak juga meninggal dunia. Data WHO tersebut menunjukkan agresifitas timbulnya penyakit akibat perubahan iklim.

Pengawasan intensif terhadap obat juga penting  dilakukan sebagai pencegahan perkembangan malaria yang resisten ke belahan dunia  lain. WHO menyarankan perlu dilakukannya pengawasan berkelanjutan dan mendampingi beberapa negara untuk memperkuat upaya pengawasan obat.

E b o l a

Dampak perubahan iklim juga mempengaruhi timbulnya berbagai penyakit infeksi baru seperti Ebola. Tak bermaksud menakut-nakuti, tapi sebaiknya kita mengenali penyakit yang satu ini. Lantas apa itu Ebola? Virus yang telah menewaskan ribuan orang di Afrika Barat, dan menjadi momok berbahaya bagi banyak negara termasuk Indonesia.

Ebola adalah penyakit menular yang bisa berakibat fatal. Virus Ebola diduga berasal dari kelelawar buah dan pertama kali dideteksi pada 1976 dekat Sungai Ebola yang berada di negara Kongo.

Bagaimana penyakit ini menular?

Virus Ebola bisa tertular lewat melalui darah, muntah, feses, dan cairan tubuh dari manusia pengidap Ebola ke manusia lain. Virus juga bisa ditemukan dalam urin dan cairan sperma.

Infeksi terjadi ketika cairan-cairan tubuh tersebut menyentuh mulut, hidung, atau luka terbuka orang sehat. Bersentuhan langsung pada kasur, pakaian, atau permukaan yang terkontaminasi juga bisa menyebabkan infeksi – tetapi ini hanya melalui luka terbuka orang sehat.

Penyakit ini tidak menular melalui udara, seperti flu. Namun ketika terinfeksi, virus membutuhkan ini waktu 2-21 hari hingga menunjukan gejala.

Apa gejalanya?

Gejala awal adalah demam mendadak, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala, dan sakit tenggorokan. Kemudian diikuti dengan muntah, diare, ruam dan perdarahan – baik internal maupun eksternal – yang dapat dilihat pada gusi, mata, hidung dan di tinja. Pasien cenderung meninggal karena dehidrasi dan kegagalan sistem organ. Namun, demam belum tentu Ebola. Bisa jadi hanya terkena demam biasa atau malaria.

Bagaimana cara menghindarinya?

Kendati di Indonesia telah dinyatakan belum terjadi penyebaran, namun WHO menyarankan agar menghindari kontak dengan penderita Ebola dan cairan tubuh mereka,. Jangan menyentuh barang apa pun – seperti handuk – yang bisa berpotensi terkontaminasi di tempat umum.

WHO juga memperingatkan terhadap mengkonsumsi daging satwa liar mentah dan kontak dengan kelelawar yang terinfeksi atau monyet dan kera. Kelelawar buah secara khusus dianggap lezat di daerah Guinea di mana wabah dimulai.

Dalam jurnal Nature, Peneliti itu mengatakan bahwa perubahan iklim, mengubah dinamika transisi agen penyebar penyakit. Selain itu, juga mempengaruhi rentang, perilaku, siklus biologis, sejarah hidup patogen dan vektor spesies penyakit. Jadi, perubahan iklim saat ini membutuhkan konsen yang serius oleh segala bidang ilmu. Tantangan masa depan akibat perubahan iklim dilimpahkan pada ego sektoral. 


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *