CIFOR Tunjukkan Bukti-bukti Kaitan Hutan dan Penyakit Menular

 CIFOR Tunjukkan Bukti-bukti Kaitan Hutan dan Penyakit Menular

Kelelawar dipandang sebagai sumber virus Ebola – walaupun belum jelas jika kehilangan habitat terkait langsung dengan wabah baru-baru ini. Foto: Stephen C. Smith. (Gambar: Stephen C. Smith)


Medialingungan.com – Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) baru-baru ini mencium adanya kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan wabah infeksi Penyakit Menular (EIDs). Justifikasi ini diiringi peningkatan jumlah penelitian ini yang menuding adanya corong yang menghubungkan keduanya.

Menurut CIFOR, kaitan keduanya bak ‘pistol berasap’ – meskipun tak muncul ke permukaan namun identifikasi menyatakan bahwa EIDs berpotensi besar ditimbulkan dari perubahan penggunaan lahan.

“Ketika tegakkan hutan dibuka, meningkatnya kontak manusia dengan patogen tak dikenal di hutan bisa terjadi. Tetapi menemukan jalur penyebab, bahkan bukti korelasi yang cukup, masih sulit,” lansir CIFOR (25/09).

Tiga perempat EIDS yang dikenali, aslinya bersifat zoonotik, ditransmisikan dari binatang ke manusia. Memahami proses alami dan kejadian kontak binatang-manusia di bawah kondisi sosio-ekologi berbeda tampaknya menjadi prioritas segera.

Memahami faktor penyebab wabah dan munculnya kembali penyakit menular masih menjadi masalah ilmiah paling sulit. “Jurang besar pengetahuan masih ada,” katanya.

Bruce Wilcox dan Rita Colwell, Peneliti Biokompleksitas yang mendalami kemunculan penyakit menular secara holistik mengatakan, kelangkaan informasi disebabkan karena cara pandang terhadap patogen. “Ini hal yang mengkhawatirkan,” sambungnya.

Kedua peneliti ini menawarkan paradigma baru penelitian interdisipliner — yang menempatkan patogen tidak terisolasi, karena penyakit, masalah lingkungan, selain juga pembangunan ekonomi, pemanfaatan dan tata kelola lahan yang semrawut dan memerlukan solusi lintas-sektor.

“Jadi, untuk mampu memperdiksi di mana EIDs bisa muncul, kita harus memahami bagaimana tingkat reservoar alami dan kecepatan transmisi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisik, sosial dan ekonomi serta interaksi mereka,” jelasnya.

Penelitian ini juga membantu menemukan apakah proses munculnya penyakit ditengarai perubahan demografi, konsumsi dan produksi sampah populasi manusia dan dampaknya – urbanisasi, ekspansi dan intensifikasi pertanian, dan alterasi habitat hutan.

Penyatuan Puzzle Manusia dan Hutan

Dua sumber informasi terbaru dapat membantu mengawali penyatuan puzlle: pengetahuan mengenai fragmentasi hutan dunia, dan distribusi global EIDs.

Peta resolusi tinggi tutupan pohon global yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Joseph Sexton dan kawan-kawan pada 2013 serta timnya Nick Haddad pada 2015 mengungkap bahwa hampir 20 persen sisa hutan dunia hanya berjarak 100 meter ke ujung hutan, dan lebih dari 70 persen hutan dunia berada dalam rentang 1 kilometer ke ujungnya.

Ini menempatkan hutan dalam jangkauan aktivitas manusia, perubahan mikro-iklim, dan spesies non-hutan yang bisa mempengaruhi ekosistem alami.

Kate Jones dan kawan-kawan dalam tulisan Nature (2013), menarik basis data dari ‘kejadian’ EIDs antara 1940 dan 2004, menunjukkan pola global nyata, mayoritas kejadian (71,8 persen) berasal dari alam liar.

“Tetapi, apakah kejadian EID dimungkinkan oleh fragmentasi hutan? Penelitian menunjukkan bahwa EID biasanya merupakan akibat perubahan antropogenik dan demografik, tetapi kekayaan spesies asli alam adalah penduga signifikan munculnya zoonotik EIDs, tanpa peran pertumbuhan populasi manusia, ketinggian atau curah hujan,” tulisnya.

Hutan, Binatang, Ebola

Masalah EIDs, manusia, kondisi hutan dan hewan (khususnya hewan buruan) belum pernah dalam sorotan sejak munculnya penyakit virus Ebola (EVD).

EVD ditularkan kepada manusia dari hewan liar dan penyebaran dalam populasi manusia melalui transmisi manusia-manusia. Penjelasan mengenai mewabahnya EVD beredar, tetapi tidak satu pun yang pasti.

Kaitan antara mewabahnya EVD dan deforestasi diterapkan, dengan entitas seperti Organisasi Kesehatan PBB (WHO) menyatakan (meskipun secara implisit) bahwa hilangnya hutan secara potensial menginfeksi hewan liar dan manusia dalam kontak lebih besar.

Walaupun kontak langsung dengan beragam spesies mamalia, seperti primata non-manusia — gorila, simpanse dan rusa (transmisi hanya terkait dengan kelompok taksonomi ini) – telah ditunjukkan sebagai penyebab utama lompatan penyakit ke manusia, kelelawar secara khusus sering disebut sebagai reservoar paling memungkinkan untuk virus Ebola.

Baru-baru ini, beberapa peneliti menawarkan –walaupun belum terbukti dalam distrik Gueckedou — di mana wabah Guinea berawal dari kontak dengan koloni kelelawar pemakan serangga tak-berekor mungkin menjadi penyebab wabah akibat hilangnya hutan.

Walaupun yang lain menentang hal itu karena hutan Guinea atas merupakan mosaik hutan dinamis, savana dan pertanian selama bertahun-tahun, orang di wilayah ini telah lama berkohabitasi dengan kelelawar, tampaknya bukan deforestasi/fragmentasi yang menjadi penyebab mewabahnya EVD.

Mengingat manusia dan kera besar telah lama tinggal bersama kelelawar beratus tahun, menuding gangguan habitat sebagai penyebab utama munculnya virus Ebola dalam spesies ini mungkin terlalu menyederhanakan dan bisa mengabaikan penyebab utama lain yang mungkin ada.

Di lain pihak, wacana yang mengklaim bahwa kecepatan dan ketakterdugaan deforestasi bisa mengarah pada wabah EVD bisa benar.

Tetapi, bagaimana ini bekerja?

Penelitian oleh Yayasan Environmental Resources Management (ERM) menyatakan bahwa fragmentasi hutan mengubah dinamika gerakan alam liar dalam hutan terfragmentasi; hutan terfragmentasi seringkali adalah wilayah dengan lebih banyak orang, jadi kontak antara manusia dan reservoar potensial atau spesies pembawa bisa meningkat.

Penelitian ini juga membandingkan pola fragmentasi hutan di enam lokasi wabah EVD dengan sampel luar wilayah yang dipilih secara acak, menemukan bahwa fragmentasi hutan lebih tinggi dalam lokasi EVD. Kesimpulan penulis laporan ERM dari hasil ini, adalah bahwa fragmentasi hutan, dalam mempengaruhi kebiasaan kelelawar mencari makan dan bersarang, bisa secara tidak langsung bertanggungjawab atas meningkatnya pertemuan kelelawar-manusia, dan akibatnya meningkatkan risiko EVD.

Laporan ERM merekomendasikan fragmentasi habitat mendorong kelimpahan pemangsa lebih kecil (terkait dengan hilangnya fauna berbadan besar), yang jika diburu akan meningkatkan kontak dengan hewan liar.

Penelitian ini merupakan yang pertama secara empirik memeriksa peluang hubungan antara kondisi hutan dan wabah EVD. Tetapi lebih banyak pekerjaan perlu dilakukan, kata penulis itu sendiri.

“Kita harus, tidak hanya meningkatkan sampel lokasi wabah EVD untuk diteliti, tetapi juga menguji rangkaian hipotesis alternatif untuk menginvestigasi apakah faktor tunggal atau beragam terkait wabah EVD,” jelasnya.

Jam berdetak dan ada urgensi saling mengetahui lebih dalam jika memang ada kaitan antara wabah Ebola virus dan deforestasi/fragmentasi hutan, konsumsi hewan buruan dan menangani daging hewan liar.

Para peneliti mengatakan, jika kaitan ini tervalidasi secara memuaskan, temuan itu bisa menjadi pintu masuk untuk lebih jauh memahami kondisi meningkatnya risiko wabah ebola dan menawarkan strategi mitigasi yang layak. {Fahrum Ahmad}


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *