COP21 di Balik Cadar Protocol Kyoto 

 COP21 di Balik Cadar Protocol Kyoto 

Paris, Perancis, tempat penyelenggaraan Conference of the Parties ke-21 (Gambar:Istimewa)


PAKTA IKLIM MENGIKAT LANJUTAN PROTOKOL KYOTO yang difinalisasi pada pertemuan di Paris, Desember 2015, untuk mendesak pimpinan wilayah menggunakan kekuatannya agar berkomitmen secara inklusif terhadap rentang pemangku kepentingan dan perspektif dari 195 negara yang hadir pada puncak Konferensi Iklim PBB di Kota Lima, ibukota Peru, Desember 2014 lalu.

Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru, yang memimpin pembicaraan iklim PBB di Lima, sebelumnya pada “Forest Asia Summit” di Jakarta mengatakan, perjanjian Paris itu akan menegaskan, Protocol Kyoto tidak akan terulang, “kesepakatan itu akan menjembatani dan merangkul segala perpektif dari atas ke bawah,” ujarnya pada pidato pembukaan Forest Asia Summit.

DUA BULAN PASCA SEPENINGGALAN Conference of the Parties ke-20 (COP20) di San Borja, Lima, yang berlangsung selama dua pekan ini mencapai titik kesepakatan bahwa draft teks negosiasi untuk kesepakatan 2015 sudah harus mulai dihasilkan.

Latar belakang dari tujuan ini adalah menurut ketentuan dari United Nations Framework Convention on Climate (UNFCCC), “apabila suatu kesepakatan akan dihasilkan, maka, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah kesepakatan tersebut dihasilkan (di Lima), teks kesepakatan sudah harus diterjemahkan ke dalam 6 bahasa UN.”

Dengan hitungan mundur, teks kesepakatan tersebut sudah harus final dan diterjemahkan, setidaknya pada bulan Mei 2015. Meskipun keputusan ini mengundang banyak kritikan, namun kesepakatan ini menjadi sangat penting dalam mengkonstruksi kesepakatan di Paris.

Tarik-ulur, pro-kontra dengan sengit mewarnai konferensi itu. Dalam proses negosiasi, kepentingan negara maju dan berkembang berbeda. Yang menjadi perdebatan adalah tarik ulur tentang siapa yang paling bertanggung jawab menurunkan emisi.

Negara maju misalnya menginginkan negara berkembang melakukan upaya yang sama dengan mereka menurunkan emisi. Namun, beberapa Negara, seperti India, Bolivia, Cina, Arab Saudi, dan Iran, dengan tegas meminta negara maju sepenuhnya bertanggung jawab menurunkan emisi.

Menurut permufakatan yang disahkan di Lima, seluruh Negara peserta traktat kerangka UNFCC sudah harus mengesahkan program-program nasional dalam upaya memangkas emisi gas rumah kaca sampai Mei 2015 (paling lambat 31 Mei 2015).

Ujungnya, negara-negara anggota akan menambahkan satu laporan pada 1 Desember 2015 untuk menilai upaya-upayanya guna mencapai target tentang batas kenaikan suhu bumi kurang lebih 2 derajat celsius terbanding dengan masa pra-industri, sesuai dengan hasil penelitian Panel Antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC).

PELETAKAN PONDASI UNTUK KONFERENSI IKLIM DI PARIS merupakan harapan ambisius untuk kita semua. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon mengimbau kepada semua pihak, khususnya raksasa ekonomi dunia, agar meletakkan komitmen negaranya, bergerak dalam satu haluan, sebelum diselenggarakannya COP21.

Beberapa studi menegaskan, jika tidak segera ada aksi mitigasi yang serius oleh semua negara, maka kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi akan bergerak di atas 2 derajat celcius. Diperkirakan antara 3-4 derajat celcius, suatu kondisi yang diperkirakan akan menyebabkan peningkatan jumlah dan intensitas cuaca ekstrim dengan daya rusak yang makin tinggi.

SEBAGAI PENGGANTI PROTOCOL KYOTO, COP21 Paris diharapkan membuka jalan baru bagi dunia untuk meniti sebuah langkah maju dalam mengurangi emisi rumah kaca, dan aksi kolaboratif (negara kaya-kurang mampu) dalam berbagai regional masing-masing – yang akan saling mendukung terutama pada aspek pendanaan.

Kita semua memiliki kewajiban yang sama, tak ada perbedaan ras, agama, bahkan warna kulit. Tujuan kita, bulat, bukan suatu yang imaji, seperti yang diungkapkan Matsuo Basho, seorang penyair Jepang, yang pernah dituliskan Goenawan Mohamad dalam salah satu eseinya, bahwa Imaji – kata yang melampaui bahasa yang dirumuskan.

Momen inilah (COP21) milestone penurunan emisi, ibarat orchestra yang menuntut keselarasan punggawanya berjalan harmonis. Seluruh Negara harus memiliki ambisi, perspektif, dan kesetaraan tanggungan agar tidak jalan di tempat (lagi). {EDITORIAL MEDIALINGKUNGAN.COM}


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *