Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Indonesia Darurat Batubara
Medialingkungan.com – Dunia saat ini sedang dihadapkan pada dilema besar mengenai pro-kontra penggunaan batubara sebagai sumber energi listrik — termasuk Indonesia. Di satu sisi, batubara memberi keuntungan lebih bagi perekonomian negara dikarenakan lebih murah, efektif dan efisien dibandingkan dengan sumber energi listrik lainnya. Namun di sisi lain, penggunaan batubara mengeluarkan emisi yang sangat besar dan berdampak pada kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta lingkungan.
Data Badan Energi Internasional (International Energy Agency, IEA) menunjukkan bahwa bahan bakar fosil batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global, yang tentunya menjadi sumber terbesar emisi gas rumah kaca sebagai pemicu perubahan iklim.
Selain itu, batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan, seperti NOx dan SO3, zat utama dalam pembentuk hujan asam dan polusi PM 2.5. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti Merkuri dan Arsen.
Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia tengah berupaya melakukan pembangunan mega-proyek penyediaan listrik 35.000 MW (Megawatt) dalam jangka waktu 5 tahun, mulai 2015-2019. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah bekerjasama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan perusahaan swasta untuk membangun 109 pembangkit listrik baru. Saat ini, setidaknya sudah ada 42 PLTU yang beroperasi di Indonesia.
Komitmen Pasca Kesepakatan Paris
Rencana pemerintah Indonesia ini tentu sangat berlawanan dengan ambisi Indonesia pada kesepakatan iklim global 2015 di Paris. Indonesia mengumumkan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29% pada tahun 2030, demi tujuan dari kesepakatan bersama yakni menghentikan pemanasan global dibawah 2oC.
Namun, langkah pemerintah untuk mewujudkannya melalui penggunaan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Hal ini dapat dilihat dari sorotan organisasi-organisasi lingkungan bahwa proyek 35.000 MW menggunakan lebih dari 60% sumber energi berasal dari batubara, sementara hanya 20% penggunaan sumber dari energi terbarukan.
Laporan dari Greenpeace bersama dengan Harvard University menunjukkan, bahwa polusi udara dari operasi PLTU Batubara saat ini telah menyebabkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun. Penyebab utamanya adalah stroke (2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), penyakit paru obstruktif kronik (400), kanker paru-paru (300) serta penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya (800). Jika saja semua pembangkit listrik dibawah proyek 35.000 MW seperti yang direncanakan telah beroperasi, maka diestimasikan jumlah kematian dini akan meningkat menjadi 15.700 jiwa per tahun.
“Setiap pembangkit listrik tenaga batubara baru berarti risiko kesehatan tinggi bagi rakyat Indonesia. Kematian terjadi lebih cepat dari waktunya akibat stroke, serangan jantung, kanker paru-paru, penyakit jantung dan pernapasan lainnya. Dampak kesehatan ini terutama mengancam anak-anak,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Harapan Energi Indonesia
Laporan dari Greenpeace menunjukkan bahwa saat ini sekitar 40% dari listrik yang dihasilkan di seluruh dunia masih berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara. Namun, masih ada harapan karena dunia saat ini sedang menunjukkan tren penggunaan energi bersih.
Berbagai contoh kasus di negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Cina yang telah menunjukkan akan meninggalkan batubara sebagai sumber energi listrik. Hal ini disusul oleh gerakan-gerakan divestasi terhadap batubara dari berbagai badan pendanaan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Ekspor Impor AS, dan Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan yang telah memutuskan untuk berhenti berinvestasi di pembangkit listrik tenaga batubara.
“Jika seluruh wilayah Selatan dan Asia Tenggara mengimplementasikan rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara, kita benar-benar akan mengalami krisis,” kata Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia.
Indonesia juga harus ikut serta merangkul tren energi bersih pengganti batubara. Indonesia memiliki target ambisius dalam penggunaan energi terbarukan, yakni 25% sampai pada tahun 2025 mendatang. Beberapa alternatif energi terbarukan sebagai pengganti batubara dapat ditingkatkan seperti energi dari tenaga panas bumi, air, angin, dan matahari.
Indonesia memiliki 40% dari cadangan panas bumi dunia dengan kapasitas panas bumi melebihi 29.000 MW, namun kita baru saja mengembangkannya kurang dari 4%. Selanjutnya, potensi energi dari tenaga air juga bisa dikembangkan. Indonesia memiliki target potensial sebesar 1.267 MW sampai 7.500 MW dari pembangkit listrik tenaga air.
Untuk potensi energi dari tenaga angin, Indonesia memiliki ribuan mil garis pantai pada ratusan pulau-pulau, dan kecepatan angin yang konstan. Tercatat 1,96 MW kapasitas terpasang untuk tenaga angin dengan potensi 3-6 meter per detik (m/s).
Terakhir, potensi energi dari tenaga matahari juga tidak boleh dipandang sepele. Kapasitas terpasang tenaga matahari saat ini hanya 12 MW, padahal negara ini berada pada lintasan khatulistiwa dan menerima lebih banyak sinar matahari daripada tempat lain di dunia, dengan potensi sekitar 4,8 kWh/m2/hari.
“Pemerintah harus membuat target yang lebih ambisius dan membangun proses transisi yang adil untuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan,” kata Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting. {EDITORIAL MEDIALINGKUNGAN.COM}