Konsultasi AMDAL Tambang emas PT. ASA dianggap kurang partisipatif
Tak Ada Rumah Seperti Bumi
No Place Like Home atau (dalam terjemahan Indonesia) “Tidak Ada Tempat Seperti Rumah” memang layak disandang Bumi, planet dimana semua dapat hidup akur — bahkan antar tumbuhan dan binatang. No place like home, sebuah tagline yang diberikan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sebagai wujud penghargaan menyambut perayaan Hari Bumi Internasional 2015, April lalu.
Pada perayaan itu, NASA menghimpun seluruh foto dan video — tempat paling favorit masyarakat di Bumi. NASA menganggap, mereka telah banyak mengekplorasi planet dan benda-benda angkasa lainnya, seperti: pegunungan di Mars, cincin Saturnus, kemiringan aksial 99,77 derajat Uranus, dll, “namun bagaimana dengan sedikit sesuatu untuk rumah sendiri? Ini Hari Bumi (22 April), mari kita jelajahi rumah kita juga,” ungkap NASA dalam situs resminya.
Para ilmuwan dari NASA dan di seluruh dunia sekarang telah menemukan lebih dari 1.800 planet di luar tata surya kita. Namun sejauh ini, mereka belum menemukan yang cocok dengan kompleksitas Bumi, meski NASA, dengan bantuan teleskop luar angkasanya menemukan Planet Kepler-186F, yang ditengarai memiliki kemiripan dengan Bumi.
Kepler yang dianggap sepupu bahkan (banyak yang menyebutnya) kembaran bumi ini mengorbit dekat bintang, yang mirip seperti Bumi dan Matahari. Planet ini berada 500 tahun cahaya dari Bumi, dan berada dalam Zona Goldilocks (zona planet yang bisa dihuni karena berada cukup dekat dengan matahari tempat ia mengorbit) pada konstelasi Cygnus yang berjarak 492 tahun cahaya dari Bumi.
Isu tentang planet alternatif yang bisa dihuni selain bumi muncul karena anggapan bumi ini telah tua, telah penuh akibat ledakan populasi, dan telah sesak untuk dihuni dan diekplorasi. Padahal, potensi sumberdaya yang ada di Bumi masih sangat berlimpah.
Dalam film besutan Christopher Nolan — Interstellar – dikisahkan beberapa petualang (yang disebut rangers) meneruskan misi Lazarus NASA untuk mencari ‘rumah baru’ — pengganti Bumi. Kondisi Bumi dalam film itu rusak sehingga tidak dapat menopang kebutuhan umat manusia, ladang pertanian — secara berangsur — tidak dapat lagi berproduksi. Akibatnya, peradaban manusia terancam punah di Bumi.
Dalam perjalanan mencari planet layak huninya, mereka menemukan bahwa kondisi planet, yang sebelumnya diinformasikan oleh 12 rangers pendahulunya tidak menunjukkan adanya tanda-tanda yang bisa dihuni manusia. Kondisinya ekstrim, dan kandungan udara tidak sesuai dengan di Bumi — meskipun ada planet yang gravitasinya hampir menyerupai di Bumi.
Atmosfer Bumi terdiri atas nitrogen (78.17%) dan oksigen (20.97%), dengan sedikit argon (0.9%), karbondioksida (variabel, tetapi sekitar 0.0357%), uap air, dan gas lainnya. Sehingga untuk mencari pengganti Bumi — paling tidak – memiliki kemiripan unsur udara tersebut.
Para penjelajah itu akhirnya menyadari bahwa tidak ada rumah selain bumi.
Sama halnya dengan Kepler-186F, peneliti telah mengetahui bahwa bintang yang diorbit oleh Kepler-186F massanya hanya separuh matahari. Jadi energi yang dipancarkannya hanya sepertiga dari matahari kita. Kepler-186F sendiri mengorbit bintang ini dalam jangka waktu 130 hari — jauh lebih singkat dari waktu orbit bumi pada matahari.
Masih sulit bagi para peneliti untuk menyimpulkan bahwa Kepler layak untuk dihuni manusia. Kalaupun di masa depan disimpulkan bahwa berpotensi adanya peradaban baru di sana, masalah jarak yang terlampau jauh — 500 tahun cahaya — juga menyandung para peneliti NASA bergerak untuk memulai peradaban masa depan di Kepler.
Pola mitigasi (masa kini) dan adaptasi (masa depan) sebaiknya terencana. Perubahan iklim saling buru-memburu — bisa cepat — juga lambat.
Perubahan iklim diprediksi berakibat meningkatkan suhu rata-rata secara global. Sehingga anomali iklim akan terjadi. Anomali ini akan diikuti dengan pola kehidupan di Bumi. Efeknya, banyak fenomena alam yang bersifat koersif (destruktif). Bencana bisa sering terjadi, produksi pangan menurun, dan gangguan kesehatan berpotensi besar terjadi.
Kita mempunyai peran penting untuk masa depan generasi mendatang. Perilaku generasi kini akan mempengaruhi generasi mendatang. Mulai pola konsumsi produk termasuk penggunaan energi hingga pembangunan (yang mestinya berkelanjutan) mesti tersusun rapi dalam rencana aksi untuk menekan laju perubahan iklim secara ekstrim, sehingga bumi (rumah kita) menjadi satu-satunya tempat paling nyaman untuk ditingali – masa kini dan masa depan peradaban manusia. {EDITORIAL MEDIALINGKUNGAN.COM}