Krisis Ekologi, Kemunduran Suatu Bangsa

 Krisis Ekologi, Kemunduran Suatu Bangsa

Ilustrasi (Gambar:4.Bp)


Saat lingkungan alami kemelut, langit masih saja diam, hanya bergantian terang dan gelap. Tereksplorasi begitu mudah. Pedang keadilan nyaris tumpul. Hukum mengabdi pada materi, ekologi syarat kesekian. Laju kerusakan tak terbendung. Orang-orang kebanyakan bisu. Dalam bisu catatan kecil mungkin lebih punya nyali. Suara lumpuh, coretan berceloteh.

Republik ini semestinya bukan sekedar tahu apa yang dimiliki alamnya. Tapi bagaimana mengerti dan paham jika nafsu ekonomi melupakan prinsip ekologi — rapuhlah bangsa ini. Begitu pula rakyatnya, pandangan ekologis jangan diseret oleh tawuran elit perangkat Negara.

Aturan dibuat bukan untuk dilanggar. Aturan bukan ajang unjuk nyali “siapa yang melanggar, dia yang hebat”. Selebrasi saat melanggar (hukum) bukan itu yang gentle. Aturan ibarat rel kereta yang sudah memiliki tujuan sendiri. Jika keluar rel tentu konsekuensi menunggu.

Jika kita sepakat untuk aware terhadap alam, buka mata, buka telinga, buka langkah – mari bertindak. Perubahan tata politik Negara dari masa orde baru, ke reformasi, kemudian demokrasi tidak mengubah raut lingkungan hidup Indonesia. Arah kebijakan tak karuan, dan tak menoleh pada lingkungan.

Ada yang mengatakan krisis ekologi adalah krisis multi-dimensi. Krisis yang dikatakan sebagai suatu ungkapan klise hingga hampir kehilangan makna.

Tantangan ekologi semakin besar. Dunia mengeluh di tengah ledakan populasi penduduk yang menanjak tajam, bumi ini mendadak demam dalam sekejap. Orang-orang mulai dilanda gelisah, jika saja bumi ini akan hancur lebih cepat dari maktubnya.

Krisis ‘98 mungkin menyisakan luka, tapi bukan hanya pada ketatanegaraan, ekologis juga — bahkan lebih parah. Keuangan Negara mungkin masih bisa kembali stabil, tapi bagaimana nasib hutan, udara, sumber air atau bahkan masyarakat kita yang menyandarkan diri pada sumber daya itu.

ARAH PEMBANGUNAN SECARA SIGNIFIKAN MENINGKAT dalam dua dekade terakhir. Lahan-lahan hijau tergerus habis, disulap menjadi aspal dan beton. Lalu inti alam dikeluarkan dari mulut-mulutnya. Tanah Papua, Sumatera dan Kalimantan menjadi panorama menyedihkan. Akibatnya, banjir dan kekeringan sudah menjadi hal yang lumrah.

Eksploitasi alam yang berlebihan menumpulkan sifat alamiahnya sebagai penyeimbang. Sumberdaya alam kian habis dipetik manisnya, namun lupa jika ada manis tentu ada sebaliknya, pahit.

Kerusakan ekosistem adalah kabar yang sangat buruk bagi semua mahluk hidup. Mereka seperti mata rantai yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Misalnya saja berkurangnya pohon akan membuat sejumlah hewan kehilangan rumahnya, dan perlahan punah. Selain itu, terpicunya bencana alam juga merupakan efek kausalitas dari kerusakan.

Kita punya kekayaan alam yang melimpah, tapi tak dipelihara dengan baik. Pemerintah justru memilih memelihara koruptor (dengan baik).

Berusaha mensejahterakan masyarakat memang itulah tugas pemerintah. Masyarakat berdaya atas sumberdaya alam yang duduk di pangkuan nusantara. Masa kejayaan Majapahit, Singosari, Mulawarman dsb, dibuktikan atas tersohornya kerajaan itu karena kesuburan yang menghasilkan rempah-rempah. Sehingga itu pula yang memicu Negara lain untuk menguasai Indonesia.

Setelah sekian lama justru potret itu berubah menjadi Negara dengan tingkat kerusakan lingkungan terparah di dunia. Bahkan dalam catatan Guiness Book of Record, Indonesia memperoleh gelar “perusak hutan yang paling cepat”. Indonesia tercatat menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam.

Kerusakan ekosistem justru akan memperlambat akses pembangunan dan peningkatan perekonomian negara. Negara-negara dengan kekuatan finanasial yang besar sekelas Amerika misalnya, bersedia mengeluarkan dana yang terbilang besar untuk membantu pengurangan emisi. Efek rumah kaca yang ditimbulkan dari tumpukan emisi karbon tersebut menimbulkan perubahan fenomena alam yang tak terduga. Efeknya pun negatif.

Jika ditimbang, total kerugian jauh lebih besar dibandingkan perbuatan yang hanya sepele, membuang sampah pada tempatnya, hemat energi, atau prinsip ramah lingkungan lainnya.

BANGSA INI MULAI TAK TERKENDALI, begitu juga bumi. Sebuah langkah yang mulia jika menanam benih pohon untuk embrio yang akan lahir kelak, anak cucu kita. Bersahabat dengan alam berarti melihat senyuman manis generasi mendatang. {EDITORIAL MEDIALINGKUNGAN.COM}


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *