RECOFTC: PAR, Langkah Strategis Pembangunan Kehutanan


Medialingkungan.com – Tak bisa di pungkiri, kemutakhiran ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dinilai oleh sebagian pihak mampu mewujudkan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Namun, tak bisa pungkiri, saat ini fakta berbicara lain.

Hutan memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim, tetapi sering dilupakan bahwa hutan hanya bisa memerankan itu ‘jika’ hutan bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Lingkungan yang dimaksud merupakan sinerjitas antara pemegang peranan inti dari pengelolaan hutan.

Pemerintah bisa saja mengklaim diri sebagai yang paling jenius dan mengetahui secara mendalam hal yang dibutuhkan dalam tata kelola hutan secara berkelanjutan. Namun, kondisi berbeda justru terlihat sangat kontras ketika menyaksikan secara gamblang paparan variasi kebijakan dengan tataran fenomena di lapangan. Ambigu, lalu timubul paradoks, sampai mana kebijakan mampu mewadahi setiap aspek pengelolaan. Hal yang demikian jika diumpamakan seperti “membeli kucing dalam karung”.

Senior Program Officer RECOFTC (The Center For People and Forests), Dr. David Gritten, mengatakan pemerintah selalu menganggap bahwa kebijakan kehutanan yang dilahirkan sudah berasal dari telaahan dan melalui kajian strategis, namun tidak demikian. “Kesenjangan atau gap justru signifikan”, kata David saat diwawancarai di sela-sela kunjungannya ke Indonesia, ketika break lunch dalam pelatihan Participatory Action Research (PAR) di Aula Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.

“Ia selalu merasa dirinya lebih paham kondisi hutan,“ sambungaya.

Menurut David hal yang tak bisa ditepiskan dari hutan adalah ‘masyarakat’ yang ada di sana. Ia katakan, rangkaian aktivitas masyarakat di sana secara fundamental merupakan bagian dari hutan.

Dalam salah satu rilis opinian brief  RECOFTC dikatakan bahwa masyarakat setempat (kawasan hutan) memiliki keterkaitan ekologi, ekonomi, dan sosial. Oleh sebab itu, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam landskap pembangunan kehutanan seyogyanya di akomodasi pada wilayah strategis.

“Untuk mencapai sinerjitas antara kebijakan, hak masyarakat, dan kelestarian dibutuhkan suatu tools yang mampu mengakomodir seluruh aspeknya,” jelas David. PAR menurut David sangat penting dalam menyerap aspirasi dari seluruh stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan hutan.

PAR penting untuk meng-cover seluruh kepentingan

Metamorfosis kebijakan kemudian melahirkan konsep pengelolaan hutan kemasyarakatan yang dinilai sebagai salah satu jurus jitu pemerintah dalam membangun hutan yang berkelanjutan sekaligus memeberikan ruang kepada masyatakat untuk berkembang menuju sejahtera melalui pemanfaatan berkelanjutan. “Tantangan tersulitnya adalah keinginan yang berbeda-beda, dan untuk banyak wilayah, hal ini tak saling temu,” kata David.

PAR adalah jembatan mencapai pemahaman yang menghubungkan masyarakat, gagasan-gagasan, dan sumber lainnya. “PAR jembatan untuk memahami keinginan masyarakat – menyerap semua aspirasi, bekerja menuju solusi yang saling menguntungkan atas masalah bersama, dan secara esensial, mampu meraih suatu tingkat kesadaran yang tinggi – berdaya untuk memecahkan masalah,” jelas David.

Berdiskusi lebih jauh bersama David dan tim ROCFTC lainnya, Ahmad Dhiahulhaq, Asisten Program Officer, Bagian Riset Dan Analisis, memeberikan gambaran – metode penelitian PAR saat memaintenance pengelolaan hutan kemasyarakatan. “PAR pada umumnya digunakan dalam penelitian-penelitian sosial. PAR merupakan alat yang digunakan untuk menyerap aspirasi dan menghadirkan jalan tengah antar semua stakeholder sebagai rujukan lahirnya kebijakan yang menampung seluruh keinginan,” ujar Ahmad.

No PAR, No sustainable forest

RECOFTC sebagai organisasi internasional non-profit yang berpusat di Bangkok, Thailand – yang fokus pada pengembangan kapasitas untuk kehutanan masyarakat dan manajemen hutan, memfasilitasi akademisi kehutanan dari beberapa universitas di Makassar serta beberapa NGO lokal Sulawesi melalui pelatihan Participatory Action Research Method yang pertama dilakukan RECOFTC di Indonesia.

RECOFTC menyadari, untuk sektor kehutanan, PAR belum banyak digunakan dalam proses penyelesaian masalah. “Indonesia sendiri, bahkan untuk skala Asia, PAR belum familiar digunakan untuk sektor kehutanan,” ujar David seraya Ahmad meng-iya-kan argumen tersebut.

Untuk mendorong itu, lanjut Ahmad, diperlukan pemahaman dan pengalaman mendalam terkait PAR. Masyarakat di hutan memiliki seikat hak untuk mengelola hutan. “Untuk mewujudkan itu, PAR sangat baik,” katanya.

Banyak kritikan tentang kerumitan dalam memperoleh perizinan pemanfaatan hutan. Dan memang sangat ketat. Hal ini ditengarai karena proses ini bersinggungan langsung dengan hukum dan perundang-undangan.

Banyak praktisi di bidang kehutanan dan NGO mengakui, kompeksitas aturan didalamnya bisa di buat sederhana jika kemauan untuk mewujudkan kesinambungan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan yang baik atau lestari menggunakan pendekatan partisipatif dari masyarakat dan pembuat kebijakan.

“Kesenjangan muncul karena hubungan antara masyarakat, pemerintah pusat, provinsi, dan daerah/kabupaten belum saling mendukung (berkolaborasi) terhadap manifestasi dari peraturan dan kemandirian masyarakat sebagai aktor dalam mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,” ungkap David.

Lebih lanjut ia jelaskan, hutan yang lestari dan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika sinerjitas semua stakeholder dapat berjalan secara partisipatif. Dalam hal ini keinginan dan kepentingan seluruh pihak terorganisir dengan baik. “PAR mampu melakukan itu, bahkan dalam segala kondisi wilayah, termasuk hutan adat”. (MFA)


Redaksi Medialingkungan.com

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *